ADAT KEBIASAAN DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI
Diajukan untuk
Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah Qawaidh Fiqih Muamalah II
Dosen : Yusuf Azazy, S.Ag, M.A.
Disusun Oleh Kelompok 2 :
Kelas : HBS B
Gema
Nurifah Putri (1133020075)
Reni Riyani (1133020151)
Hilda Fauzia (1133020086)
M.E
Burhanudin (1133020116)
Muhamad
Firman S (1133020122)
Fahmi
Hidayatullah (1133020066)
JURUSAN
MUAMALAH
FAKULTAS
SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS
ISLAM NEGERI
SUNAN
GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015
KATA PENGANTAR
بسم الله الرحمن الرحريم
Alhamdulilah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt,
karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan
makalah dengan judul “Adat
Kebiasaan Dalam Transaksi Jual-Beli”. Tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini
memenuhi tugas Mata Kuliah Qawaidh Fiqih Muamalah II. Selain itu penulis juga
bermaksud untuk berbagi pengetahuan dengan pembaca.
Penulis
menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih terdapat banyak kekurangan.
Oleh karena itu kepada para pembaca, kami mengharap saran dan kritik konstuktif
demi kesempurnaan makalah ini terutama kepada Dosen yang menjadi konsentrasi
ilmu di Mata Kuliah ini.
Akhirnya
penulis sampaikan terima kasih kepada dosen, rekan-rekan sekalian, serta semua
pihak yang membantu penulis.
Semoga makalah ini
bermanfaat bagi para mahasiswa Aamiin.
Bandung, April 2016
DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
A. Latar Belakang............................................................................................................1
B. Rumusan Masalah...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................. 2
A. Pengertian ‘Urf (Kebiasaan)...........................................................................2
B. Pembagian ‘Urf (Kebiasaan)..........................................................................3
C. Kehujjahan ‘Urf
.............................................................................................5
D. Kidah-kaidah ‘Urf
..........................................................................................6
BAB III PENUTUP.....................................................................................................11
A. Kesimpulan.................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................12
BAB I
PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang
Qawaidh
fiqhiyah adalah suatu hukum-hukum fiqih, yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan
baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan
dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di
masyarakat.
Adat
jual-beli di berbagai daerah memiliki perbedaan yang signifikan baik dalam akad
atau objek yang di perjual belikan, didasari semua itu pemakalah merasa
tertarik untuk mengkaji adat kebiasaan yang ada di dalam jual-beli. Adapun yang
berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan
akad atau transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyarakat dalam
berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli
oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari
es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.
Syuraih
berkata kepada para penenun, “Kebiasaan kalian di antara kalian”, Abdul Wahab
meriwayatkan dari Ayyub dari Muhammad, dia berkata,“Tidak apa-apa menjual
sesuatu yang di beli seharga sepuluh dengan seharga sebelas, dan mengambil
keuntungan untuk biayanya”.
Dalam
makalah ini hanya akan mengkaji bagaimana adat kebiasaan yang ada dalam jual
beli. Oleh karena itu, di dalamnya akan dibahas tentang beberapa contoh adat
kebiasaan dalam jual beli, akad, dan objek yang dijual belikan.
B.
Rumusan Masalah
1.
Apa yang di
maksud dengan ‘Urf (Kebiasaan)?
2.
Apasaja
pembagian ‘Urf ?
3.
Apa yang
menjadi kehujjahan adat kebiasaan dalam jual beli ?
BAB II
PEMBAHASAN
A.
Pengertian ‘Urf
(Kebiasaan)
Kata
‘Urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh
akal sehat. Sedangkan secara terminology, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim
Zaidah, istilah ‘Urf berarti :
“Sesuatu
yang tidak asing lagi bagi masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan
menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan”.[1]
Oleh
sebagian ulama Ushul Fiqh, ‘urf disebut adat (adat kebiasaan). Berarti ‘Urf
adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat pada suatu tempat tertentu,
dan mereka menjadikannya sebagai tradisi. Misalnya akad jual beli dalam fiqh
Islam, akan sah jual beli tersebut bila ada kalimat ijab qabul (serah terima).
Namun karena menurut kebiasaan, tanpa adanya serah terima penjualan dianggap
telah terjadi transaksi, maka jual beli tanpa kalimat ijab qabul jual beli
sudah dianggap sah. Para ulama bersepakat bahwa diperbolehkan ijab qabul tidak
perlu dilafalkan namun boleh hanya kesepakatan. Adapun yang berkaitan dengan
mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau
transaksi dengan cara tertentu.
Kebiasaan
dalam jual beli yang sudah menjadi adat boleh digunakan asal kedua belah pihak
mengetahui dan tidak menyimpang dari syariat Islam. Jual beli adalah
persetujuan yang saling mengikat antara penjual dan pembeli, penjual adalah
pihak yang menyerahkan barang, pembeli adalah pihak yang membayar harga barang
yang dijual atas dasar suka sama suka.
Hukum
Jual beli diperbolehkan. Allah Swt memperbolehkan Jual beli yang dijelaskan
dalam Firman-Nya dalam Q.S Al-Baqarah ayat 275:
وَاَحلَ أللهُ أَلبَيِعَ وَ حَرَّمَالرِّبَوْا ...
Artinya : “... padahal Allah Swt telah menghalalkan Jual Beli dan
mengharamkan riba...” (Q.S Al-Baqarah :275).[2]
B.
Pembagian ‘Urf
(Kebiasaan)
Dari
segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan bersifat
umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
1.
‘Urf dari segi
Cakupannya, yaitu :
a.
Al-‘Urf Al-‘am (Kebiasaan
yang bersifat umum)
Adalah kebiasaan tertentu
yang bersifat umum dan berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan diseluruh
daerah. Misalnya, dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk
memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam
harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lainnya adalah
kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat
terbang adalah dua puluh kilogram, atau setiap penjualan ikan yang masih
dikolam belum bisa ditentukan jumlah ikannya.
b.
Al-‘Urf Al-Khash
(Kebiasaan yang bersifat khusus)
Adalah kebiasaan yang
berlaku di wilayah dan masyarakat tertentu. Misalnya, dikalangan para pedagang,
apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan
untuk cacat yang lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan
barang tersebut atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap
barang tertentu.
2.
‘Urf dari segi
Objeknya, yaitu :
a.
Al-‘Urf
Al-Lafzhi (Kebiasaan yang menyangkut ungkapan)
Adalah kebiasaan
masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan
sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam
pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan “daging” yang berarti daging sapi,
padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang
mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam
daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung
mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan
penggunaan kata daging pada daging sapi.
b.
Al-‘Urf
Al-‘amali
Adalah kebiasaan
masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan,
yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyarakat dalam masalah
kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain. Adapun
berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan
akad atau transaksi dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam
berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli
oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar seperti lemari
es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.
3.
‘Urf dari segi
keabsahannya
a.
Al-‘urf
al-shahih (Kebiasaan yang dianggap Sah)
Adalah kebiasaan dalam masyarakat yang sudah dianggap sah dan menjadi
kebiasaan dalam transaksi jual beli. Misalnya, jual beli tanpa menggunakan ijab
qabul atau tanpa adanya akad serah terima antara kedua belah pihak dan sudah
menjadi sah.
b.
Al-‘Urf
al-fasid (Kebiasaan yang dianggap rusak)
Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan
kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Kebalikan dari Al-‘Urf ash-shahih,
maka adat dan kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan yang haram, dan
mengharamkan yang halal. Misalnya,kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang
dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang
yang di pinjam sebesar 10 juta rupih dalam tempo satu bulan, harus dibayar
sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo dengan perhitungan bunganya
10% tidakah memberatkan, karena kentungan yang yang diraih dari 10 juta rupiah
tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%, akan tetapi praktik seperti ini
bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam hukum syara, karena
pertukaran barag sejenis menurut syara tidak boleh saling melebihkan, dan
praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman jahiliyah,
yang dikenal dengan sebutan Riba Nasiah (riba yang muncul dari hutang piutang).
C.
Kehujjahan ‘urf
Terdapat perbedaan
pendapat dikalangan ulama ushul fiqh tentang kehujjahan atau keabsahan urf
untuk dijadikan hukum islam yang sah, salah satuya :
1). Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah
Hujjah untuk menetapkan hukum. Mereka bersandar pada firman Allah SWT dalam QS.
Al-A’raf:199 berikut:
خُذِ
اْلعَفْوَوَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَهِلِيْنَ
Artinya:”jadilah engkau
pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari
orang-orang bodoh”. (Q.S Al-A’raf: 199)[3]
Hadits Syurai berkata kepada para penenun. “kebiasaan kalian,
diantara kalian”.
Abdul Wahab meriwayatkan dari Ayyub dari Muhammad, dia berkata,
“Tidak apa-apa menjual sesuatu yang dibeli seharga 10 dengan seharga 11, dan
mengambl keutungan untuk biayaanya.”
Nabi Saw bersabda kepada Hilun, “ambilah secara patut, yang cukup
untukmu dan untuk anakmu.”
وَعَاشِرُوهُنَّ
بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah mereka secara
patut”. (QS. An-Nisa: 19).
مَا
رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ
المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
“Apa yang
dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa
saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan
sebagai perkara yang buruk"
(HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam
Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
D.
Kaidah Kaidah Tentang Adat Kebiasaan
1. Kaidah ushuliah
اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ
“Adat kebiasaan dapat dijadikan
hukum”
Kaidah fiqih ini berkenaan tentang adat
atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan
kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Adat adalah suatu perbuatan atau
perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima
akal dan secara terus menerus manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah
sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam
mengerjakannya, karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh
watak kemanusiaannya. Kata Al-‘aadah atau al-u’rf Menurut Imam abi al faidh
terkadang digunakan dalam satu makna akan tetapi sama dalam bidang ilmu lain.
Bahwasannya ‘urf atau al ‘aadah adalah sesuatu yang dianggap baik oleh syarak
atau perkara yang dianggap baik.
Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”. ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.
Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdhah.
5. Sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
6. Tidak bertentangan dengan Qur’an dan sunnah.
Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”. ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.
Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdhah.
5. Sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
6. Tidak bertentangan dengan Qur’an dan sunnah.
2. Cabang-cabang
kaidah al-a’aadah muhkamah
Cabang-cabang kaidah al-a’aadah muhkamah ada Sembilan, yaitu:
استعمال الناس حجة يجب العامل
“Apa
yang biasa dilakukan oleh orang banyak adalah hujjah (alasan, argument dan
dalil ) yang wajib diamalkan”
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan dimasyarkat, menjadi pegangan, dalam arti setiap masyarakat menaatinya. Contohnya: menjahitkan pakaianya kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menjahitnya adalah tukang jahit”.(ijarah/jasa)
Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan dimasyarkat, menjadi pegangan, dalam arti setiap masyarakat menaatinya. Contohnya: menjahitkan pakaianya kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menjahitnya adalah tukang jahit”.(ijarah/jasa)
انما تعتبر العادة إذااضطردت أو غلبت
“Adat
yag diangap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang berlaku umum”.
Maksudnya tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu hanya sekali-kali terjadi dan atau tidak berlaku umum. Kaidah ini sesungguhnya merupakan dua syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus-menerus dilakukan yang bersifat umum (keberlakuannya). Contohnya: apabilas seseorang berlangganan majalah atau surat kabar, maka majalah dan surat kabar itu diantar kerumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah atau surat kabar tesebut maka ia biasa mengadukan dan menuntutnya kepada agen majalah atau surat kabar tersebut.(salam/ististisna)
Maksudnya tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu hanya sekali-kali terjadi dan atau tidak berlaku umum. Kaidah ini sesungguhnya merupakan dua syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus-menerus dilakukan yang bersifat umum (keberlakuannya). Contohnya: apabilas seseorang berlangganan majalah atau surat kabar, maka majalah dan surat kabar itu diantar kerumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah atau surat kabar tesebut maka ia biasa mengadukan dan menuntutnya kepada agen majalah atau surat kabar tersebut.(salam/ististisna)
العبرة للغالب الشائع لا للنادر
“Adat yang diakui adalah adat yang
seringkali dilakukan bukan yang jarang dilakukan”
Contohnya: “jual beli emping banten mengggunakan
takaran rantang sesuai dengan adat kebiasaan jaman dahulu yang sering dilakukan
oleh para penjual, sedangkan takaran liter atau kiloan jarang dilakukan,
sehingga penjual selalu menakar empingnya dengan rantang bukan dengan kiloan
atau liter”
Ibnu Rus berkata:
الحكم بالمعتادلا بالنادر
“Hukum itu dengan mencakup atas apa
yang biasa terjadi bukan yang jarang terjadi”.
Contohnya : “Jual beli karungan di pasar gd.bage, karena ini sudah menjadi kebiasaan diantara para pedagang dan distributornya, maka mau tidak mau pembeli harus membeli atau membayar secara karungan, karena sudah menjadi kebiasaan diantara pedagang” .
Contohnya : “Jual beli karungan di pasar gd.bage, karena ini sudah menjadi kebiasaan diantara para pedagang dan distributornya, maka mau tidak mau pembeli harus membeli atau membayar secara karungan, karena sudah menjadi kebiasaan diantara pedagang” .
العرف عرفا كالمشروط شرطا
“Sesuatu
yang telah dikenal dengan urf seperti yang di syatratkan dengan suatu syarat”.
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu’amalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan. Contohnya : apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim-piyatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain halnya apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa diupah, datang kesuatu rumah yang sedang dibangun lalu dia bekerja disitu, tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila bekerja, dia mendapat bayaran.
Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu’amalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan. Contohnya : apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim-piyatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain halnya apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa diupah, datang kesuatu rumah yang sedang dibangun lalu dia bekerja disitu, tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila bekerja, dia mendapat bayaran.
المعروف بين التجار كالمشروط بينهم
“Sesuatu
yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka”.
Sesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya dibidang mu’amalah saja, dan itupun dikalangan pedagang (aka dijelaskan lebih jauh dalam dhabit mu’amalah). Dimasukan disini dalam kaitannya dengan kaidah al-adah muhkamah
Sesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya dibidang mu’amalah saja, dan itupun dikalangan pedagang (aka dijelaskan lebih jauh dalam dhabit mu’amalah). Dimasukan disini dalam kaitannya dengan kaidah al-adah muhkamah
Contohnya:
“Di daerah pandeglang dalam jual beli duren, kalo membeli teransaksi biasa maka
harganya sesuai dengan harga pasaran, kalo membeli dengan mengambil sendiri di
pohon, maka harganya lebih murah, jadi ini mejadi syaratnya”.
التعيين بالمعروف كالتعيين بالنص
“ketentuan
berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”.
Maksud kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf yang memenuhi syarat. Adalah mengikat dan sama kedudukannya seperti ketetapan hukum berdasarkan nash. Contohnya : apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat tinggal dirumah atau toko tersebut, maka sipenyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan ijin orang yang menyewakan.
Maksud kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf yang memenuhi syarat. Adalah mengikat dan sama kedudukannya seperti ketetapan hukum berdasarkan nash. Contohnya : apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat tinggal dirumah atau toko tersebut, maka sipenyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan ijin orang yang menyewakan.
الممتنع عادة كالممتنع حقيقة
“ kebiasaan itu akan senantiasa
selaras dengan kenyataan”.
Maksud kaidah ini adalah tidak akan mungkin ada kebiasaan yang keluar dari akal sehat. Contohnya: seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang itu miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal harta tersebut”.
Maksud kaidah ini adalah tidak akan mungkin ada kebiasaan yang keluar dari akal sehat. Contohnya: seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang itu miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal harta tersebut”.
الحقيقة تترك بدلالة العادة
“
Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut
adat”.
Maksudnya: arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain ditunjukan oleh adat kebiasaan. Contohnya: yang dimaksud jual beli adalah penyerahan uang dan peneriamaan barang oleh si pembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi, apabila si pembeli sudah menyerahkan tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi. Maka sipenjual tidak bisa lagi membatalkan jual belinya meskipun harga naik.
Maksudnya: arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain ditunjukan oleh adat kebiasaan. Contohnya: yang dimaksud jual beli adalah penyerahan uang dan peneriamaan barang oleh si pembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi, apabila si pembeli sudah menyerahkan tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi. Maka sipenjual tidak bisa lagi membatalkan jual belinya meskipun harga naik.
الاذن العرفي كالاذن اللفظي
“Pemberian izin menurut adat
kebiasaan setara dengan pemberian izin menurut ucapan”.
Contohnya : Apabila tuan rumah
menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka
tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan
berarti mempersilahkannya.
BAB III
KESIMPULAN
Kata
‘Urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh
akal sehat. Sedangkan secara terminology, seperti yang dikemukakan oleh Abdul
Karim Zaidah, istilah ‘Urf berarti :
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat karena telah menjadi
kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau
perkataan”.
Dari segi cakupanya, urf terbagi dua yaitu: Al-urf al-amm
(kebiasaan yang bersifat umum) dan Al-Urf Al-Khash (kebiasaan yang besifat
khusus). Dari segi keabsahanya dari pandangan syara urf terbagi menjadi dua
yaitu: al-urf al-shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-urf al-fasid
(kebiasaan yang dianggap rusak), sedangkan dari segi objeknya urf terbagi
menjadi dua, yaitu Al-Urf Al-Lafdzi dan Al-Urf Al-Amali.
DAFTAR PUSTAKA
Suhendi, Hendi. 2011. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT
RajaGrafindo Persada
Effendi, Satria.2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh II. Jakarta: Logos
Wacana Ilmu.
Hakim, abdul hamid. 1927. As sullam. Jakarta: Al maktabah as
sa’adiyah futron. Alim. 2011. Al ‘aadah
muhakkamah.
[1] Satria,
Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005, hal.53.
[2] Hendi,
Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2011, hlm. 58
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II,
Jakarta: Logos wacana ilmu, 1999, hal.387
Komentar
Posting Komentar