ADAT KEBIASAAN DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI BY LAW BUSSINES SHARIA


ADAT KEBIASAAN DALAM TRANSAKSI JUAL-BELI
Diajukan untuk Memenuhi Salah Satu Tugas Terstruktur pada Mata Kuliah Qawaidh Fiqih Muamalah II
Dosen  :  Yusuf Azazy, S.Ag, M.A.


                       Disusun Oleh Kelompok 2 :
                     Kelas : HBS B
                                          Gema Nurifah Putri                        (1133020075)
                                          Reni Riyani                                     (1133020151)
                                          Hilda Fauzia                                   (1133020086)
                                          M.E Burhanudin                             (1133020116)
                                          Muhamad Firman S                        (1133020122)
                                          Fahmi Hidayatullah                        (1133020066)

JURUSAN MUAMALAH
FAKULTAS SYARIAH DAN HUKUM
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI
SUNAN GUNUNG DJATI
BANDUNG
2015



KATA PENGANTAR

بسم الله الرحمن الرحريم
Alhamdulilah puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah swt, karena berkat rahmat dan hidayah-Nya penulis dapat menyusun dan menyelesaikan makalah dengan judulAdat Kebiasaan Dalam Transaksi Jual-Beli”. Tujuan penulis dalam pembuatan makalah ini memenuhi tugas Mata Kuliah Qawaidh Fiqih Muamalah II. Selain itu penulis juga bermaksud untuk berbagi pengetahuan dengan pembaca.
Penulis menyadari bahwa dalam menyusun makalah ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh karena itu kepada para pembaca, kami mengharap saran dan kritik konstuktif demi kesempurnaan makalah ini terutama kepada Dosen yang menjadi konsentrasi ilmu di Mata Kuliah ini.
Akhirnya penulis sampaikan terima kasih kepada dosen, rekan-rekan sekalian, serta semua pihak yang membantu penulis.
Semoga makalah ini bermanfaat bagi para mahasiswa Aamiin.



Bandung, April 2016




DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR.................................................................................................. i
DAFTAR ISI................................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN............................................................................................ 1
A.    Latar Belakang............................................................................................................1
B.     Rumusan Masalah...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN............................................................................................. 2
A.    Pengertian ‘Urf (Kebiasaan)...........................................................................2
B.     Pembagian ‘Urf (Kebiasaan)..........................................................................3
C.     Kehujjahan ‘Urf .............................................................................................5
D.    Kidah-kaidah ‘Urf ..........................................................................................6
BAB III PENUTUP.....................................................................................................11
A.    Kesimpulan.................................................................................................................11
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................12




BAB I

PENDAHULUAN

A.      Latar Belakang
Qawaidh fiqhiyah adalah suatu hukum-hukum fiqih, yang diambil dari kebiasaan-kebiasaan baik yang tumbuh dan berkembang di dalam masyarakat sehingga dapat dijadikan dasar dalam menetapkan suatu hukum sesuai dengan nilai-nilai yang berkembang di masyarakat.
Adat jual-beli di berbagai daerah memiliki perbedaan yang signifikan baik dalam akad atau objek yang di perjual belikan, didasari semua itu pemakalah merasa tertarik untuk mengkaji adat kebiasaan yang ada di dalam jual-beli. Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu. Misalnya kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar, seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.
Syuraih berkata kepada para penenun, “Kebiasaan kalian di antara kalian”, Abdul Wahab meriwayatkan dari Ayyub dari Muhammad, dia berkata,“Tidak apa-apa menjual sesuatu yang di beli seharga sepuluh dengan seharga sebelas, dan mengambil keuntungan untuk biayanya”.
Dalam makalah ini hanya akan mengkaji bagaimana adat kebiasaan yang ada dalam jual beli. Oleh karena itu, di dalamnya akan dibahas tentang beberapa contoh adat kebiasaan dalam jual beli, akad, dan objek yang dijual belikan.

B.       Rumusan Masalah
1.      Apa yang di maksud dengan ‘Urf (Kebiasaan)?
2.      Apasaja pembagian ‘Urf ?
3.      Apa yang menjadi kehujjahan adat kebiasaan dalam jual beli ?



BAB II
PEMBAHASAN
A.      Pengertian ‘Urf (Kebiasaan)
Kata ‘Urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminology, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidah, istilah ‘Urf berarti :
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan”.[1]
Oleh sebagian ulama Ushul Fiqh, ‘urf disebut adat (adat kebiasaan). Berarti ‘Urf adalah sesuatu yang telah dikenal oleh masyarakat pada suatu tempat tertentu, dan mereka menjadikannya sebagai tradisi. Misalnya akad jual beli dalam fiqh Islam, akan sah jual beli tersebut bila ada kalimat ijab qabul (serah terima). Namun karena menurut kebiasaan, tanpa adanya serah terima penjualan dianggap telah terjadi transaksi, maka jual beli tanpa kalimat ijab qabul jual beli sudah dianggap sah. Para ulama bersepakat bahwa diperbolehkan ijab qabul tidak perlu dilafalkan namun boleh hanya kesepakatan. Adapun yang berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu.
Kebiasaan dalam jual beli yang sudah menjadi adat boleh digunakan asal kedua belah pihak mengetahui dan tidak menyimpang dari syariat Islam. Jual beli adalah persetujuan yang saling mengikat antara penjual dan pembeli, penjual adalah pihak yang menyerahkan barang, pembeli adalah pihak yang membayar harga barang yang dijual atas dasar suka sama suka.

Hukum Jual beli diperbolehkan. Allah Swt memperbolehkan Jual beli yang dijelaskan dalam Firman-Nya dalam Q.S Al-Baqarah ayat 275:
وَاَحلَ أللهُ أَلبَيِعَ وَ حَرَّمَالرِّبَوْا ...
Artinya : “... padahal Allah Swt telah menghalalkan Jual Beli dan mengharamkan riba...” (Q.S Al-Baqarah :275).[2]
B.       Pembagian ‘Urf (Kebiasaan)
Dari segi cakupannya, ‘urf terbagi dua yaitu al-‘urf al-‘am (kebiasaan bersifat umum) dan al-‘urf al-khash (kebiasaan yang bersifat khusus).
1.      ‘Urf dari segi Cakupannya, yaitu :
a.      Al-‘Urf Al-‘am (Kebiasaan yang bersifat umum)
    Adalah kebiasaan tertentu yang bersifat umum dan berlaku secara luas di seluruh masyarakat dan diseluruh daerah. Misalnya, dalam jual beli mobil, seluruh alat yang diperlukan untuk memperbaiki mobil seperti kunci, tang, dongkrak, dan ban serep termasuk dalam harga jual, tanpa akad sendiri dan biaya tambahan. Contoh lainnya adalah kebiasaan yang berlaku bahwa berat barang bawaan bagi setiap penumpang pesawat terbang adalah dua puluh kilogram, atau setiap penjualan ikan yang masih dikolam belum bisa ditentukan jumlah ikannya.
b.      Al-‘Urf Al-Khash (Kebiasaan yang bersifat khusus)
     Adalah kebiasaan yang berlaku di wilayah dan masyarakat tertentu. Misalnya, dikalangan para pedagang, apabila terdapat cacat tertentu pada barang yang dibeli dapat dikembalikan dan untuk cacat yang lainnya dalam barang itu, konsumen tidak dapat mengembalikan barang tersebut atau juga kebiasaan mengenai penentuan masa garansi terhadap barang tertentu.

2.      ‘Urf dari segi Objeknya, yaitu :
a.      Al-‘Urf Al-Lafzhi (Kebiasaan yang menyangkut ungkapan)
     Adalah kebiasaan masyarakat dalam mempergunakan lafal atau ungkapan tertentu dalam mengungkapkan sesuatu, sehingga makna ungkapan itulah yang dipahami dan terlintas dalam pikiran masyarakat. Misalnya, ungkapan “daging” yang berarti daging sapi, padahal kata-kata “daging” mencakup seluruh daging yang ada. Apabila seseorang mendatangi penjual daging, sedangkan penjual daging itu memiliki bermacam-macam daging, lalu pembeli mengatakan “saya beli daging 1 kg” pedagang itu langsung mengambil daging sapi, karena kebiasaan masyarakat setempat telah mengkhususkan penggunaan kata daging pada daging sapi.
b.      Al-‘Urf Al-‘amali
    Adalah kebiasaan masyarakat yang berkaitan dengan perbuatan biasa atau mu’amalah keperdataan, yang dimaksud “perbuatan biasa” adalah kebiasaan masyarakat dalam masalah kehidupan mereka yang tidak terkait dengan kepentingan orang lain. Adapun berkaitan dengan mu’amalah perdata adalah kebiasaan masyarakat dalam melakukan akad atau transaksi dengan cara tertentu. Misalnya, kebiasaan masyarakat dalam berjual beli bahwa barang-barang yang dibeli itu diantarkan kerumah pembeli oleh penjualnya, apabila barang yang dibeli itu berat dan besar seperti lemari es dan peralatan rumah tangga lainnya, tanpa dibebani biaya tambahan.

3.      ‘Urf dari segi keabsahannya
a.    Al-‘urf al-shahih (Kebiasaan yang dianggap Sah)
Adalah kebiasaan dalam masyarakat yang sudah dianggap sah dan menjadi kebiasaan dalam transaksi jual beli. Misalnya, jual beli tanpa menggunakan ijab qabul atau tanpa adanya akad serah terima antara kedua belah pihak dan sudah menjadi sah.
b.      Al-‘Urf al-fasid (Kebiasaan yang dianggap rusak)
Adalah kebiasaan yang bertentangan dengan dalil-dalil syara’ dan kaidah-kaidah dasar yang ada dalam syara’. Kebalikan dari Al-‘Urf ash-shahih, maka adat dan kebiasaan yang salah adalah yang menghalalkan yang haram, dan mengharamkan yang halal. Misalnya,kebiasaan yang berlaku dikalangan pedagang dalam menghalalkan riba, seperti peminjaman uang antara sesama pedagang. Uang yang di pinjam sebesar 10 juta rupih dalam tempo satu bulan, harus dibayar sebanyak sebelas juta rupiah apabila jatuh tempo dengan perhitungan bunganya 10% tidakah memberatkan, karena kentungan yang yang diraih dari 10 juta rupiah tersebut mungkin melebihi bunganya yang 10%, akan tetapi praktik seperti ini bukanlah kebiasaan yang bersifat tolong menolong dalam hukum syara, karena pertukaran barag sejenis menurut syara tidak boleh saling melebihkan, dan praktik seperti ini adalah praktik peminjaman yang berlaku di zaman jahiliyah, yang dikenal dengan sebutan Riba Nasiah (riba yang muncul dari hutang piutang).
C.    Kehujjahan ‘urf
      Terdapat perbedaan pendapat dikalangan ulama ushul fiqh tentang kehujjahan atau keabsahan urf untuk dijadikan hukum islam yang sah, salah satuya :
1). Golongan Hanafiyah dan Malikiyah berpendapat bahwa urf adalah Hujjah untuk menetapkan hukum. Mereka bersandar pada firman Allah SWT dalam QS. Al-A’raf:199 berikut:
خُذِ اْلعَفْوَوَأْمُرْ بِالْعُرْفِ وَأَعْرِضْ عَنِ الْجَهِلِيْنَ
Artinya:”jadilah engkau pemaaf, dan suruhlah orang mengerjakan yang ma’ruf, serta berpalinglah dari orang-orang bodoh”. (Q.S Al-A’raf: 199)[3]
Hadits Syurai berkata kepada para penenun. “kebiasaan kalian, diantara kalian”.
Abdul Wahab meriwayatkan dari Ayyub dari Muhammad, dia berkata, “Tidak apa-apa menjual sesuatu yang dibeli seharga 10 dengan seharga 11, dan mengambl keutungan untuk biayaanya.”
Nabi Saw bersabda kepada Hilun, “ambilah secara patut, yang cukup untukmu dan untuk anakmu.”
وَعَاشِرُوهُنَّ بِالْمَعْرُوفِ
“Dan pergaulilah mereka secara patut”. (QS. An-Nisa: 19).

مَا رَءَاهُ اْلمُسْلِمُوْنَ حَسَنًا فَهُوَ عِنْدَ اللهِ حَسَنٌ وَمَا رَءَاهُ المُسْلِمُوْنَ سَيْئًا فَهُوَ عِنْدَااللهِ سَيْءٌ
“Apa yang dipandang baik oleh orang-orang Islam maka baik pula di sisi Allah, dan apa saja yang dipandang buruk oleh orang Islam maka menurut Allah pun digolongkan sebagai perkara yang buruk"
(HR. Ahmad, Bazar, Thabrani dalam Kitab Al-Kabiir dari Ibnu Mas'ud).
D. Kaidah Kaidah Tentang Adat Kebiasaan
1. Kaidah ushuliah

اَلْعَادَةُ مُحَكَّمَةٌ 
“Adat kebiasaan dapat dijadikan hukum”
         Kaidah fiqih ini berkenaan tentang adat atau kebiasaan, dalam bahasa Arab terdapat dua istilah yang berkenaan dengan kebiasaan yaitu al-‘adat dan al-‘urf. Adat adalah suatu perbuatan atau perkataan yang terus menerus dilakukan oleh manusia lantaran dapat diterima akal dan secara terus menerus manusia mau mengulanginya. Sedangkan ‘Urf ialah sesuatu perbuatan atau perkataan dimana jiwa merasakan suatu ketenangan dalam mengerjakannya, karena sudah sejalan dengan logika dan dapat diterima oleh watak kemanusiaannya. Kata Al-‘aadah atau al-u’rf Menurut Imam abi al faidh terkadang digunakan dalam satu makna akan tetapi sama dalam bidang ilmu lain. Bahwasannya ‘urf atau al ‘aadah adalah sesuatu yang dianggap baik oleh syarak atau perkara yang dianggap baik.
         Djazuli mendefinisikan, bahwa al-‘adah atau al-‘urf adalah “Apa yang dianggap baik dan benar oleh manusia secara umum (al-‘adah al-‘aammah) yang dilakukan secara berulang-ulang sehingga menjadi kebiasaan”. ‘Urf ada dua macam, yaitu ‘urf yang shahih dan ‘urf yang fasid. ‘Urf yang shahih ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia dan tidak menyalahi dalil syara’, tidak menghalalkan yang haram dam tidak membatalkan yang wajib. Sedangkan ‘urf yang fasid ialah apa-apa yang telah menjadi adat kebiasaan manusia, tetapi menyalahi syara’, menghalalkan yang haram atau membatalkan yang wajib.
         Suatu adat atau ‘urf dapat diterima jika memenuhi syarat-syarat berikut:
1. Tidak bertentangan dengan syari'at.
2. Tidak menyebabkan kerusakan dan tidak menghilangkan kemashlahatan.
3. Telah berlaku pada umumnya orang muslim.
4. Tidak berlaku dalam ibadah mahdhah.
5. Sudah memasyarakat ketika akan ditetapkan hukumnya.
6. Tidak bertentangan dengan Qur’an dan sunnah.
2. Cabang-cabang kaidah al-a’aadah muhkamah

            Cabang-cabang kaidah al-a’aadah muhkamah ada Sembilan, yaitu:
استعمال الناس حجة يجب العامل
“Apa yang biasa dilakukan oleh orang banyak adalah hujjah (alasan, argument dan dalil ) yang wajib diamalkan”
      Maksud kaidah ini adalah apa yang sudah menjadi adat kebiasaan dimasyarkat, menjadi pegangan, dalam arti setiap masyarakat menaatinya. Contohnya: menjahitkan pakaianya kepada tukang jahit, sudah menjadi adat kebiasaan bahwa yang menyediakan benang, jarum, dan menjahitnya adalah tukang jahit”.(ijarah/jasa)

انما تعتبر العادة إذااضطردت أو غلبت
“Adat yag diangap (sebagai pertimbangan hukum) itu hanyalah adat yang berlaku umum”.
        Maksudnya tidak dianggap adat kebiasaan yang bisa dijadikan pertimbangan hukum, apabila adat kebiasaan itu hanya sekali-kali terjadi dan atau tidak berlaku umum. Kaidah ini sesungguhnya merupakan dua syarat untuk bisa disebut adat, yaitu terus-menerus dilakukan yang bersifat umum (keberlakuannya). Contohnya: apabilas seseorang berlangganan majalah atau surat kabar, maka majalah dan surat kabar itu diantar kerumah pelanggan. Apabila pelanggan tidak mendapatkan majalah atau surat kabar tesebut maka ia biasa mengadukan dan menuntutnya kepada agen majalah atau surat kabar tersebut.(salam/ististisna)

العبرة للغالب الشائع لا للنادر
“Adat yang diakui adalah adat yang seringkali dilakukan bukan yang jarang dilakukan”
Contohnya: “jual beli emping banten mengggunakan takaran rantang sesuai dengan adat kebiasaan jaman dahulu yang sering dilakukan oleh para penjual, sedangkan takaran liter atau kiloan jarang dilakukan, sehingga penjual selalu menakar empingnya dengan rantang bukan dengan kiloan atau liter”

Ibnu Rus berkata:
الحكم بالمعتادلا بالنادر
“Hukum itu dengan mencakup atas apa yang biasa terjadi bukan yang jarang terjadi”.
Contohnya : “Jual beli karungan di pasar gd.bage, karena ini sudah menjadi kebiasaan diantara para pedagang dan distributornya, maka mau tidak mau pembeli harus membeli atau membayar secara karungan, karena sudah menjadi kebiasaan diantara pedagang” .

العرف عرفا كالمشروط شرطا
“Sesuatu yang telah dikenal dengan urf seperti yang di syatratkan dengan suatu syarat”.
            Maksudnya adat kebiasaan dalam bermu’amalah mempunyai daya ikat seperti suatu syarat yang dibuat, meskipun tidak secara tegas dinyatakan. Contohnya : apabila orang bergotong royong membangun rumah yatim-piyatu, maka berdasarkan adat kebiasaan, orang-orang yang bergotong royong itu tidak dibayar. Jadi tidak bisa menuntut bayaran. Lain halnya apabila sudah dikenal sebagai tukang kayu atau tukang cat yang biasa diupah, datang kesuatu rumah yang sedang dibangun lalu dia bekerja disitu, tidak mensyaratkan apapun, sebab kebiasaan tukang kayu atau tukang cat apabila bekerja, dia mendapat bayaran.

المعروف بين التجار كالمشروط بينهم
Sesuatu yang telah dikenal diantara pedagang berlaku sebagai syarat diantara mereka”.
            Sesungguhnya ini adalah dhabith karena berlaku hanya dibidang mu’amalah saja, dan itupun dikalangan pedagang (aka dijelaskan lebih jauh dalam dhabit mu’amalah). Dimasukan disini dalam kaitannya dengan kaidah al-adah muhkamah
Contohnya: “Di daerah pandeglang dalam jual beli duren, kalo membeli teransaksi biasa maka harganya sesuai dengan harga pasaran, kalo membeli dengan mengambil sendiri di pohon, maka harganya lebih murah, jadi ini mejadi syaratnya”.
التعيين بالمعروف كالتعيين بالنص
ketentuan berdasarkan ‘urf seperti ketentuan berdasarkan nash”.
      Maksud kaidah ini adalah sesuatu ketentuan berdasarkan ‘urf yang memenuhi syarat. Adalah mengikat dan sama kedudukannya seperti ketetapan hukum berdasarkan nash. Contohnya : apabila seseorang menyewa rumah atau toko tanpa menjelaskan siapa yang bertempat tinggal dirumah atau toko tersebut, maka sipenyewa bisa memanfaatkan rumah tersebut tanpa mengubah bentuk atau kamar-kamar rumah kecuali dengan ijin orang yang menyewakan.
الممتنع عادة كالممتنع حقيقة
“ kebiasaan itu akan senantiasa selaras dengan kenyataan”.
      Maksud kaidah ini adalah tidak akan mungkin ada kebiasaan yang keluar dari akal sehat. Contohnya: seseorang mengaku bahwa harta yang ada pada orang itu miliknya. Tetapi dia tidak bisa menjelaskan dari mana asal harta tersebut”.
الحقيقة تترك بدلالة العادة
“ Arti hakiki (yang sebenarnya) ditinggalkan karena ada petunjuk arti menurut adat”.
      Maksudnya: arti yang sesungguhnya ditinggalkan apabila ada arti lain ditunjukan oleh adat kebiasaan. Contohnya: yang dimaksud jual beli adalah penyerahan uang dan peneriamaan barang oleh si
pembeli serta sekaligus penyerahan barang dan penerimaan uang oleh si penjual. Akan tetapi, apabila si pembeli sudah menyerahkan tanda jadi (uang muka), maka berdasarkan adat kebiasaan, akad jual beli itu telah terjadi. Maka sipenjual tidak bisa lagi membatalkan jual belinya meskipun harga naik.


الاذن العرفي كالاذن اللفظي
“Pemberian izin menurut adat kebiasaan setara dengan pemberian izin menurut ucapan”.
Contohnya : Apabila tuan rumah menghidangkan makanan untuk tamu tetapi tuan rumah tidak mempersilahkan, maka tamu boleh memakannya, sebab menurut kebiasaan bahwa dengan menghidangkan berarti mempersilahkannya.






BAB III
KESIMPULAN

Kata ‘Urf secara etimologi berarti sesuatu yang dipandang baik dan diterima oleh akal sehat. Sedangkan secara terminology, seperti yang dikemukakan oleh Abdul Karim Zaidah, istilah ‘Urf berarti :
“Sesuatu yang tidak asing lagi bagi masyarakat karena telah menjadi kebiasaan dan menyatu dengan kehidupan mereka baik berupa perbuatan atau perkataan”.
Dari segi cakupanya, urf terbagi dua yaitu: Al-urf al-amm (kebiasaan yang bersifat umum) dan Al-Urf Al-Khash (kebiasaan yang besifat khusus). Dari segi keabsahanya dari pandangan syara urf terbagi menjadi dua yaitu: al-urf al-shahih (kebiasaan yang dianggap sah) dan al-urf al-fasid (kebiasaan yang dianggap rusak), sedangkan dari segi objeknya urf terbagi menjadi dua, yaitu Al-Urf Al-Lafdzi dan Al-Urf Al-Amali.







  
DAFTAR PUSTAKA

Suhendi, Hendi. 2011. Fiqh Muamalah. Jakarta : PT RajaGrafindo Persada
Effendi, Satria.2005. Ushul Fiqh. Jakarta: Kencana.
Syarifuddin, Amir. 1999. Ushul Fiqh II. Jakarta: Logos Wacana Ilmu.
Hakim, abdul hamid. 1927. As sullam. Jakarta: Al maktabah as sa’adiyah futron.   Alim. 2011. Al ‘aadah muhakkamah.



[1] Satria, Effendi, Ushul Fiqh, Jakarta: Kencana, 2005, hal.53.
[2] Hendi, Suhendi, Fiqh Muamalah, Jakarta : PT RajaGrafindo Persada,2011, hlm. 58
[3] Amir Syarifuddin, Ushul Fiqh II, Jakarta: Logos wacana ilmu, 1999, hal.387
 







 


Komentar