QOWAIDH FIQH MUAMALAH BY MOCH BOERHAND AL-PANDEGLANY


MAKALAH
QOWAID FIQH MUAMALAH
تنعقد المعاملة بما يدل عليها من قول او فعل
“Tetapnya Akad Muamalah yang ditunjukan oleh Ucapan dan Perbuatan”
Untuk memenuhi tugas ujian tengah  semester  mata kuliah Qowaid Fiqh Muamalah
Dosen Pengampu :
 Sufyan Al-Hakim., M.Ag









Oleh :
M. E. Burhanudin  (1133020116)
Muamalah Hukum Bisnis syariah (HBS) B
 Fakultas Syariah dan Hukum
Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati
Bandung
2015-2016




DAFTAR ISI
KATA PENGANTAR....................................................................................................... i
DAFTAR ISI.................................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN................................................................................................ 1
A.    LATAR BELAKANG...................................................................................................... 1
BAB II PEMBAHASAN ................................................................................................ 2
A.    TEKS KAIDAH............................................................................................................... 2
B.     MAKNA KAIDAH.......................................................................................................... 2
C.     PENJELASAN KAIDAH................................................................................................ 3
BAB IV PENUTUP........................................................................................................ 17
A.    KESIMPULAN.............................................................................................................. 17
DAFTAR PUSTAKA..................................................................................................... 18


KATA PENGANTAR
Puji syukur saya panjatkan kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena dengan rahmat, karunia, serta taufik dan hidayah-Nya saya dapat menyelesaikan makalah “Tetapnya Akad Muamalah yang ditunjukan oleh Ucapan dan Perbuatan meskipun banyak kekurangan didalamnya. Dan saya juga berterima kasih pada Bapak Sofyan Al-Hakim., M.Ag. Selaku Dosen mata kuliah Fiqh Perbankan yang telah memberikan tugas ini kepada saya.
            Saya sangat berharap makalah ini dapat berguna dalam rangka menambah wawasan serta pengetahuan  kita mengenai masalah-masalah dalam Qowaidh Fiqh Muamalah . Saya menyadari menyadari sepenuhnya bahwa dalam makalah ini terdapat kekurangan dan jauh dari kata sempurna. Oleh sebab  itu, saya berharap adanya kritik, saran dan usulan demi perbaikan makalah yang telah saya buat dimasa yang akan datang, mengingat tidak ada sesuatu yang sempurna tanpa saran yang membangun.
Semoga makalah sederhana ini dapat dipahami bagi siapapun yang membacanya. Sekiranya laporan yang telah disusun ini dapat berguna bagi saya sendiri maupun orang yang membacanya. Sebelumnya saya mohon maaf apabila terdapat kata-kata yang kurang berkenan dan kami memohon kritik dan saran yang membangun demi perbaikan di masa depan.
                                                                                               
                                                                                                            Bandung, November 2015


                                                                                                                     Penyusun
 

BAB I
PENDAHULUAN
A.    LatarBelakang
Islam merupakan agama yang diturunkan oleh Allah Swt sebagai agama yang membawa rahmat kepada seluruh alam juga sangat menyoroti mengenai hal-hal yang berkaitan dengan jual beli. Dalam Islam jual beli juga dibahas secara mendetail karena pada hakekatnya Islam bukan hanya agama yang mementingkan aspek ibadah saja melainkan juga sangat menekankan aspek sosial (muamalah).
Akad merupakan hal yang paling fundamental dalam menentukan sah atau tidaknya  suatu transaksi muamalah, tanpa adanya akad seluruh tindakan yang dilakukan oleh manusia dianggap keluar dari koridor hukum Islam, akad bagaikan niat dalam diri manusia, jika manusia melakukan tindakan tanpa niat, maka tindakan tersebut tidak mempunyai implikasi hukum.
Dalam makalah ini saya akan membahas kaidah tentang “tetapnya akad muamalah yang ditujukan oleh ucapan dan perbuatan”. Dan juga penjelasannya berdasarkan dalil-dalil, serta contoh implementasinya dalam transaksi muamalah.







BAB II
PEMBAHASAN
A.   Teks Kaidah
تنعقد المعاملة بما يدل عليها من قول او فعل
B.     Makna kaidah
“Tetapnya Akad Muamalah yang ditunjukan oleh Ucapan dan Perbuatan”

C.    Penjelasan Kaidah
تنعقد berasal dari kata in’aqoda-yan’aqidu yang berarti tetapnya simpul (akad), diambil dari wazan infa’ala-yanfa’ilu-infi’alan. Secara terminology maksud dari pada kaidah diatas yaitu akad dalam transaksi muamalah akan lebih mengikat jika disertai dengan ucapan (terhadap akad yang jelas dan terperinci sesuaia dengan maksud para pihak) dan juga disertai tindakan (prestasi) yang telah di ucapkan dalam akad secara jelas dan gamblang. Akad dalam transaksi muamalah harus berdasarkan dalil-dalil yang shohih.
Sesungguhnya ketetapan akad dalam transaksi muamalah seperti jual beli, salam, hiwalah, wadiah, kafalah, qard, wakaf, hibah dan lain-lain. Semuanya merujuk kepada dalil yang muthlak dan belum dikaitkan dengan lafadz yang jelas dan bukan dengan pekerjaan yang jelas tidak boleh menetapkan akad kecuali dengan dalil, dan dari kaidah yang menetapkan akadnya dengan perkataan dan perbuatan yang jelas, maka sesungguhnya membutuhkan dalil-dalil yang kuat. Setiap perkataan dan perbuatan yang menunjukan kepada maksud  Muamalah, maka sungguh telah cukup dalam menetapkan akadnya.[1]
1.      Dalil-dalil tentang penetapan akad
a.       Ayat Al-Qur’an tentang penetapan akad
$ygƒr'¯»tƒ šúïÏ%©!$# (#þqãYtB#uä (#qèù÷rr& ÏŠqà)ãèø9$$Î/ 4 ôM¯=Ïmé& Nä3s9 èpyJŠÍku5 ÉO»yè÷RF{$# žwÎ) $tB 4n=÷FムöNä3øn=tæ uŽöxî Ìj?ÏtèC ÏøŠ¢Á9$# öNçFRr&ur îPããm 3 ¨bÎ) ©!$# ãNä3øts $tB ߃̍ムÇÊÈ  
1. Hai orang-orang yang beriman, penuhilah aqad-aqad itu[388]. Dihalalkan bagimu binatang ternak, kecuali yang akan dibacakan kepadamu. (yang demikian itu) dengan tidak menghalalkan berburu ketika kamu sedang mengerjakan haji. Sesungguhnya Allah menetapkan hukum-hukum menurut yang dikehendaki-Nya.
[388] Aqad (perjanjian) mencakup: janji prasetia hamba kepada Allah dan Perjanjian yang dibuat oleh manusia dalam pergaulan sesamanya.

b. Hadist tentang Akad
Hadist yang menerangkan tentang Akad sebagai berikut :
  -حَدَّثَنَا عَبْدُ اللهِ بْنُ يُوسُفَ ، أَخْبَرَنَا مَالِكٌ ، عَنْ نَافِعٍ ، عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ عُمَرَ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا أَنَّ رَسُولَ اللهِ صلى الله عليه وسلم قَالَ : الْمُتَبَايِعَانِ كُلُّ وَاحِدٍ مِنْهُمَا بِالْخِيَارِ عَلَى صَاحِبِهِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا إِلاَّ بَيْعَ الْخِيَارِ.(أخرجه البخارى ومسلم)[2]
Hadist dari Abdullah bin Yusuf, beliau mendapatkan hadist dari Malik dan beliau mendapatkan Hadist dari Nafi’ dari Abdullah bin Umar Rodliyallohu ‘anhuma. Sesungguhnya Rosulalloh Sholallohu ‘alaihi wasallam bersabda : “Dua orang yang jual beli, masing-masing dari keduanya boleh melakukan khiyar atas lainnya selama keduanya belum berpisah kecuali jual beli khiyar.” (HR Bukhori dan Muslim).
2.      Pengertian Akad
Pengertian akad dalam Kamus Besar bahasa Indonesia adalah janji,perjanjian,kontrak. Akad secara bahasa adalah  ikatan,mengikat. Dikatakan ikatan (al rabth) maksudnya adalah menghimpun atau mengumpulkan dua ujung tali  dan mengikatkan salah satunya  pada yang lainnya  hingga keduanya bersambung dan menjadi seperti seutas tali yang satu. Sebagaimana  pengertian akad adalah perjanjian, istilah yang berhubungan dengan perjanjian  di dalam Al Qur’an  setidaknya ada 2 istilah yaitu  al ‘aqdu (akad) dan  al ‘ahdu  (janji).[3] Istilah al ‘ aqdu terdapat dalam Surat Al Maidah ayat 1 , bahwa dalam ayat ini ada kata  bil’uqud dimana terbentuk dari  hurf jar ba dan kata  al ‘uqud atau bentuk jamak taksir dari kata al‘aqdu oleh team penerjemah  Departemen Agama RI di artikan perjanjian (akad).
Sedangkan kata al ‘ahdu  terdapat dalam Surat Ali Imron ayat 76 , bahwa dalam ayat ini  ada kata bi’ahdihi dimana terbentuk dari huruf jar bi, kata al’ahdi dan hi yakni dhomir atau kata ganti dalam hal ini yang kita bahas kata al ‘ahdi oleh Team penerjamah departemen Agama RI di artikan janji. Menurut Fathurrahman Djamil, istilah  al ‘aqdu ini dapat disamakan dengan istilah verbintenis dalam KUHPerdata. Sedangkan istilah al ‘ahdu  bisa disamakan dengan istilah perjanjian atau overeenkomst, yaitu suatu pernyataan dari seseorang untuk mengerjakan atau tidak mengerjakan sesuatu yang tidak berkaitan dengan orang lain.
Kesepakatan Ahli Hukum Islam (Jumhur Ulama) mendefinisikan akad  adalah suatu perikatan antara ijab dan qobul dengan cara yang di benarkan syar’i yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum pada obyeknya.  Menurut Abdurrauf,  al ‘aqdu (Perikatan  Islam) bisa terjadi dengan melalui  tiga tahap, yaitu :
  1. Tahap Pertama : Al ’ahdu  (perjanjian) yaitu pernyataan dari seseorang untuk melakukan sesuatu dan tidak   untuk melakukan sesuatu dan tidak ada sangkut pautnya  dengan kemauan orang lain. Syarat sahnya suatu  al ‘ahdu (perjanjian)  adalah :
    1. Tidak menyalahi hukum syari’ah yang di sepakati adanya.
Maksudnya bahwa perjanjian yang diadakan oleh para pihak itu bukanlah perbuatan yang bertentangan dengan hukum atau perbuatan yang melawan hukum syari’ah, sebab perjanjian yang bertentangan dengan ketentuan hukum syari’ah adalah tidak sah, dan dengan sendirinya tidak ada kewajiban bagi masing-masing pihak untuk menempati atau melaksanakan perjanjian tersebut, atau dengan perkataan lain apabila isi perjanjian itu merupakan perbuatan yang melawan hukum syari’ah , maka perjanjian yang diadakan dengan sendirinya batal demi hukum.
Dasar Hukum tentang kebatalan suatu perjanjian  yang melawan hukum ini dapat di rujuki ketentuan hukum  yang terdapat dalam hadist Rosululloh SAW hadist dari Jabir bin Abdullah Rhodliyallohu ‘anhuma dalam kitab Syurutuhum Bainahum yang telah diriwayatkan oleh Imam Bukhori.
وَقَالَ جَابِرُ بْنُ عَبْدِ اللهِ ، رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمَا فِي الْمُكَاتَبِ شُرُوطُهُمْ بَيْنَهُمْ. وَقَالَ ابْنُ عُمَرَ ، أَوْ عُمَرُ كُلُّ شَرْطٍ خَالَفَ كِتَابَ اللهِ فَهْوَ بَاطِلٌ وَإِنِ اشْتَرَطَ مِئَةَ شَرْطٍ.[4]
“Segala bentuk persyaratan yang tidak ada dalam Kitab Allah ( Hukum Allah) adalah batal, sekalipun sejuta syarat” (HR Bukhori )”
1.      Harus sama ridho dan ada pilihan
Maksudnya akad yang di adakan oleh para pihak haruslah di dasarkan kepada kesepakatan kedua belah pihak, yaitu masing-masing pihak ridho/rela akan isi akad tersebut, atau dengan perkataan lain harus merupakan kehendak bebas masing-masing pihak. Dalam hal ini berarti tidak boleh ada paksaan dari pihak yang satu kepada pihak yang lain, dengan sendirinya akad yang  diadakan tidak tidak didasarkan kepada mengadakan perjanjian.
2.      Harus Jelas dan Gamblang
Maksudnya apa yang diperjanjikan oleh para pihak harus terang tentang apa yang menjadi isi akad, sehingga tidak mengakibatkan terjadinya  kesalahpahaman di antara para pihak tentang apa yang telah mereka perjanjikan di kemudian hari.
  1. Tahap Kedua : Persetujuan pernyataan setuju dari pihak kedua untuk melakukan atau tidak melakukan sesuatu sebagai reaksi terhadap janji yang dinyatakan oleh pihak pertama. Perjanjian tersebut harus sesuai dengan janji pihak pertama.
  2. Tahap Ketiga : Al ‘aqdu (akad/perikatan Islam) yaitu pelaksanaan dua buah janji tersebut.
Perbedaan antara perikatan Islam (Akad) dengan Perikatan KUHPerdata adalah dalam tahapan perjanjiannya dimana  dalam hukum Perikatan Islam (Akad) janji Pihak Pertama dan Pihak Kedua terpisah atau dua tahap sedangkan dalam KUHPerdata hanya satu tahap  setelah ada perjanjian maka timbul perikatan.
  1. Unsur-Unsur Akad
Definisi Akad menurut jumhur ulama bahwa akad  adalah suatu perikatan antara  ijab dan  qobul dengan cara yang di benarkan syar’i yang menetapkan adanya akibat-akibat hukum  pada obyeknya dapat diperoleh tiga unsur yang terkandung dalam akad, yaitu sebagai berikut :
a.       Pertalian Ijab dan Qobul
    1. Ijab adalah pernyataan kehendak oleh satu pihak  (mujib) untuk melakukan sesuatu  atau tidak melakukan sesuatu.
    2. Qobul adalah pernyataan menerima atau menyetujui kehendak mujib tersebut oleh pihak lainnya (qobil). Ijab dan  Qobul  ini harus ada dalam melaksanakan suatu perikatan (akad)
    3. Dibenarkan oleh syara’
Akad yang dilakukan tidak boleh bertentangan dengan syari’ah atau hal-hal yang diatur oleh Allah SWT dalam Al Qur’an dan Nabi Muhammad SAW dalam Al Hadist. Pelaksanaan akad, tujuan akad,maupun obyek akad tidak boleh bertentangan dengan syari’ah. Jika bertentangan,akan  mengakibatkan akad itu tidak sah. Sebagai contoh suatu perikatan(akad) yang mengandung riba atau obyek perikatan yang  tidak halal (seperti minuman keras ) mengakibatkan tidak sahnya suatu perikatan menurut Hukum Islam.
2.      Mempunyai akibat hukum terhadap obyeknya.
Akad merupakan  salah satu dari tindakan hukum (tasharruf). Adanya akad menimbulkan  akibat hukum terhadap obyek hukum yang diperjanjikan oleh para pihak dan juga memberikan konsekuensi  hak dan kewajiban yang mengikat para pihak.
3.      Syarat –Syarat Akad
Definisi syarat adalah ketentuan (peraturan,petunjuk) yang harus di indahkan dan dilakukan. Dalam syari’ah Islam syarat di definisikan adalah sesuatu yang tergantung padanya keberadaan hukum syar’i dan ia berada di luar hukum itu sendiri, yang ketiadaannya menyebabkan hukum pun tidak ada.
Adapun  syarat akad ada yang menyangkut  rukun akad, ada yang menyangkut obyek akad, dan ada yang menyangkut subyek akad. Menurut T.M. Hasbi Ash-Shiddieqy, suatu akad terbentuk dengan adanya empat komponen yang harus di penuhi (syarat), yaitu :
  1. Dua aqid yang di namakan  Tharafyil  aqdi atau  aqidain sebagai subyek perikatan/para pihak (the contracting parties).
  2. Mahallul aqdi (ma’qud alaih) , yaitu sesuatu yang di akadkan sebagai obyek perikatan  ( the object matter ).
  3. Maudhu’ al-Aqdi (ghayatul akad) yaitu cara maksud yang dituju sebagai prestasi yang dilakukan (the subject matter)
  4. Shighat al-aqd sebagai rukun akad (a formation).[5]
1.      Subyek Akad ( Al ‘Aqidain)
Subyek Akad (aqid) dalam  Hukum  Perikatan Islam adalah sama dengan subyek hukum pada umumnya yaitu pribadi-pribadi yang padanya terdapat ketentuan berupa : pembebanan kewajiban dan perolehan hak.  Subyek Hukum ini terdiri dari dua macam  yaitu manusia dan badan hukum kaitannya dengan ketentuan dalam hukum  Islam.
Pada kehidupan seseorang, ada tahapan untuk dapat melihat apakah seseorang telah dapat dibebani hukum. .Dalam Hukum Islam,kapasitas hukum seseorang dapat dilihat dari tahapan – tahapan dalam kehidupannya (the stages of legal capacity).Menurut Abdurrahman Raden Aji Haqqi, para ahli Ushul Fiqih telah membagi kapasitas hukum seseorang  ke dalam 4 ( empat ) tahap Subjek Hukum          (Stages of Legal Capacity ).[6]Adapun ke-empat tahap itu adalah : Marhalah al-Janin, Marhalah al-Saba, Marhalah al-Tamyiz, dan Marhalah al-Bulugh.dan juga Daur al- Rushd.
Di antara fuqaha (ahli hukum Islam) telah merumuskan syarat-syarat yang harus dipenuhi oleh seseorang sebagai  aqid yaitu : Aqil, Tamyiz, dan Muhktar.
  1. Obyek Akad (Mahallul ‘Aqdi)
Mahalllul ‘aqdi adalah benda yang berlaku padanya  hukum akad, atau disebut juga sebagian sesuatu yang menjadi objek perikatan dalam istilah  Hukum Perdata. Misalnya benda-benda yang dijual dalam akad jual beli (al buyu’/bai) atau hutang yang dijamin seseorang dalam akad. Dalam hal ini hanya benda-benda yang halal dan bersih (dari najis dan maksiat) yang boleh menjadi objek perikatan. Sehingga menurut fikih jual beli  buku – buku ilmu sihir, anjing , babi dan macan bahkan alat-alat musik (alat malahy) adalah tidak sah. Adapun syarat – syarat objek akad, yaitu : Halal menurut Syara’, Bermanfaat ( bukan merusak atau digunakan untuk merusak), dimiliki sendiri atau atas kuasa si pemilik, Dapat diserah terimakan (berada dalam kekuasaan), dan Dengan harga jelas.
  1. Prestasi  Akad (Maudhu’u al-‘Aqdi)
Maudhu’u al- Aqdi ialah tujuan akad atau maksud pokok mengadakan akad atau dalam istilah hukum perikatan disebut  Prestasi  . Tujuan ini sesuai dengan jenis akadnya,seperti: tujuan dalam jual beli ( buyu’/bai’) ialah menyerahkan barang dari penjual kepada pembeli dengan ganti/bayaran  (iwadh), dalam hibah ialah menyerahkan barang kepada penerima hibah (Mauhub) tanpa ganti ( iwadh ) dan pada akad sewa ( Ijarah ) ialah memberikan manfaat dengan ganti (iwadh).

  1. Rukun Akad
Rukun akad adalah  Ijab dan  Qobul ( serah terima).Ijab dan Qobul dinamakan  shihgatul ‘aqdi atau perkataan yang menunjukkan kepada kehendak kedua belah pihak. Shighatul aqdi ini memerlukan empat syarat : Jala’ul Ma’na, Tawafuq, Jazmul Iradataini, dan Ittishal al-kabul bil-ijab.
  1. Jenis-Jenis Akad
Dalam Kitab-Kitab  Fiqh terdapat banyak bentuk akad yang kemudian dapat dikelompokkan dalam berbagai variasi jenis-jenis akad. Mengenai pengelompokan jenis-jenis akad ini pun terdapat banyak variasi penggolongannya. Namun yang berkaitan dengan kegiatan  perbankan dan perasuransian syariah, menurut Gemala Dewi secara garis besar ada pengelompokan jenis-jenis akad  yaitu : Pertukaran, Titipan, Syarikat, Memberi kepercayaan, Memberi Izin atau Tugas Kerja, Penyelesaian Sengketa, dan Perlidungan atas Hak.
  1. Bentuk-Bentuk Akad
Mengenai bentuk-bentuk akad yang dikenal sejak awal penerapan Hukum Islam di zaman Nabi Muhammad, para ahli hukum  Islam telah  menuangkannya ke dalam kitab-kitab fiqh. Tidak terdapat kesamaan dalam  pengelompokannya dari para ahli hukum  Islam tersebut dalam  mengklarifikasi bentuk-bentuk akad ke dalam suatu kelompok. Masing-masing literatur menggunakan kriteria tersendiri dalam menggolongkan berbagai macam bentuk akad tersebut ke dalam satu  kelompok tertentu.
Jumlah  bentuk perikatan (akad) pada masing-masing literaturpun berbeda-beda, dalam rentang antara 12 sampai 38 macam. Abdurrahman Raden Aji haqqi, menggelompokkan ke 38 bentuk akad. Dari ke 38 bentuk akad tersebut dapat kita kelompokkan seperti pada penjelasan sub  bab jenis-jenis akad di atas tadi. Mengenai masing-masing bentuk akad yang di kenal dalam kita-kitab fiqh tersebut dapat dilihat penjabarannya di bawah ini.
Bentuk-Bentuk Akad Yang di kenal dalam Fiqh yaitu : Jual Beli, Mudharabah, Al-Ijarah, Syirkah, Hiwalah, Asy-Syuf’ah, Rahn atau gadai, ‘Ariyah, Ji’alah, Shulhu, Luqathah, Hibah, Sedekah (Shadaqah) dan Hadiah.
Ketika kita baca dalam keterangan di atas ternyata banyak sekali dalam akad Mualah, dalam Islam yang sesuai dengan Syara’. Maka Di dalam Hadist di atas penulis jelaskan bahwa hadist diatas sebagai dasar para Fuqoha yang menyaratkan Khiyar majelis yang dijadikan dasar dalam berhujjah, ini masalah perselisihan pendapat tentang waktu terjadinya ikatan Jual Beli.
Menurut Maliki, Abu Hanifah, dan para pengikut keduannya serta golongan Fuqoha Madinah, ikatan jual beli terjadi dalam Majelis walaupun kedua belah pihak belum terpisah. Sedang Syafi’i, Ahmad, Ishaq, Abu Tsaur, dan Ibnu Umar dari kalangan sahabat mengatakan bahwa jual beli terjadi (sudah mengikat) dengan terjadinya pepisahan dari majelis jika keduanya belum berpisah, maka jual beli tidak terjadi dan tidak mengikat. Pendapat seperti ini juga dikemukakan oleh Ibu Abi Dzi’b dari golongan Fuqoha Madinah, Suwar al-Qadhi, Ibnu Mubarok, Syuraih al-Qadhi, segolongan tabiiin, dan lainnya. Pendapat tersebut juga diriwayatkan Ibnu Umar R.A dan Abu Barzah al-Aslami r.a dari kalangan sehabat tanpa ada sahabat yang menentangnya.
Dalam Hadist di atas juga ada hadits yang lain yaitu :
Kecuali salah seorang di antara keduanya berkata kepada temannya, pilihlah”.
Fuqoha yang berbeda pendapat, mengemukakan alasan pendapat yang kacau dalam menolak pengunaan hadist di atas. Dalam menolak hadist tersebut imam Malik berdasar pada alasan, bahwa ia tidak menemukan penduduk madinah melakukan Khiyar Majelis. Dan juga beliau berpendapat bahwa hadits tersebut bertentangan dengan Hadist Munqoti’ yang diriwayatkannya dari Ibnu Mas’ud ia berkata :
أيما بيعين تبايعا فالقول ما قال البائع أو يترادان[7]( أخرجه الدالمى)
“Siapa saja dua orang yang berjual beli, maka yang menjadi pegangan adalah perkataan penjual atau saling mengembalikan”(HR. Dailami)
Dari sini bisa dipahami bahwa seolah-olah malik mengartikan hadist tersebut kepada umumnya dan ini mengharuskan adanya jual beli pada majelis atau sesudahnya. Hadist ini muqothi’ dan tidak bisa menentang hadist pertama. Apabila pertentangan tersebut hanya berdasarkan perkiraan akan adanya keumuman pada hadis munqothi’ tersebut. Yang lebih baik adalah jika hadist terakhir munqothi’ ini ditegaskan atas hadist pertama. Sepengetahuan saya hadist terakhir ini tidak pernah diriwayatkan oleh seseorang dengan musnad (yakni disandarkan kepada Nabi saw.). begitulah pegangan Malik dalam meninggalkan Hadist tersebut.
Dalam menolak hadist Khiyar ini, para pengikut Malik berpegangan pada lahiriah dalil-dalil sam’iyat dan qiyas. Dan diantara dalail lahir yang paling jelas dalam masalah ini ialah firman Allah Surat Al-Maidah ayat pertama.
1.      Pengertian Ijab dan Qobul
Pengertian Ijab menurut Hanafiyah adalah menetapkan perbuatan yang khusus yang menunjukkan kerelaan, yang timbul pertama dari salah satu pihak yang melakukan akad. Sedangkan qabul adalah pernyataan yang disebutkan kedua dari pembicaraan salah satu pihak yang melakukan akad.
Menurut Abi Yahya Zakariya Al-Anshori, Ijab adalah:
إيجاب وهو ما يدل على التمليك السابق دلالة ظاهرة
Sesuatu yang menunjukkan atas pemberian kepemilikan dengan ungkapan yang jelas.
Sedang Qabul adalah:
قبول وهو ما يدل على التملك السابق كذلك
Qabul adalah sesuatu yang menunjukkan atas penerimaan dengan ungkapan yang jelas.
2.      Shighat Ijab dan Qabul
Shighat akad adalah bentuk ungkapan dari ijab dan qabul apabila akadnya akad iltizam yang dilakukan oleh dua pihak, atau ijab saja apabila akadnya akad iltizam yang dilakukan oleh satu pihak.
Menurut Hanafiah, akad jual beli hukumnya sah dengan menggunakan shighat fi’il madhi, seperti:  بِعْتُ (saya jual), danإِشْتَرَيْتُ   (saya beli), dan dengan shighat sekarang (mudhari’) disertai dengan niat, seperti أَبِيْعُ (akan saya jual), dan أَشْتَرِي (akan saya beli).
Menurut Malikiyah, Syafi’iyah dan Hanabilah, baik akad jual beli maupun akad nikah, hukunya sah dengan menggunakan lafal Istid’a’ (amar atau Istifham). Karena yang terpenting dalam akad jual beli itu adalah kerelaan. Hal ini didasarkan pada hadits yang diriwayatkan oleh ibnu majah dari Abi Sa’id Rasulullah SAW Bersabda:
إِنَّمَا الْبَيْعُ عَنْ تَرَاضٍ
Sesungguhnya jual beli itu harus atas dasar kerelaan.[8]
Jadi para ulama telah sepakad bahwa landasan untuk terwujudnya suatu akad adalah timbulnya sikap yang menunjukkan kerelaan atau persetujuan kedua belah pihak untuk merealisasikan kewajiban diantara mereka, yang oleh para ulama disebut shighat akad.
3.      Sifat Ijab dan Qabul
Menurut Hanafiah, Malikiyah, dan tujuh fuqaha Madinah dari kalangan tabi’in, akan langsung mengikat begitu ijab dan qabul selesai dinyatakan. Hal tersebut dikarenakan akad jual beli merupakan akad mu’awadhah, yang langsung mengikad kedua pihak yang melakukan akad menyatakan ijab dan qabul-nya, tanpa memerlukan khiar majelis.
Menurut syafi’iyah, Hanabilah, Sufyan Ats-Tsauri dan Ishak, apabila akad telah terjadi dengan bertemunya ijab dan qabul, maka akad menjadi jaiz (boleh), yakni tidak mengikat selama para pihak masih berada di majelis akad. Masing-masing pihak boleh melakukan khiar (memilih) antara membatalkan jual beli atau meneruskannya, selama keduanya masih berkumpul dan belum berpisah.
Hal ini sesuai dengan hadits Nabi SAW dari Abdullah Ibnu Al-Harits dari Hakim Ibnu Hizam Bahwa nabi Bersabda:
البَيِّعَانِ بِالْخِيَارِ مَا لَمْ يَتَفَرَّقَا, فَإِنْ صَدَقَا وَبَيَّنَا بُوْرِكَ لَهُمَا فَي بَيْعِهِمَا, وَإِنْ كَتَمَا وَكَذَبَا مُحِقَتْ بَرَكَةُ بَيْعِهِمَا
     Penjual dan pembeli boleh melakukan khiyar selagi keduanya belum berpisah. Apabila keduanya benar (jujur) dan jelas maka keduanya diberi keberkahan dalam jual beli mereka. Tetapi apabila mereka berdua berbohong dan merahasiakan maka akan dihapus keberkahan jual beli mereka berdua.(HR. Bukhari dan muslim).
Yang dimaksud “berpisah” dalam hadits diatas yaitu berpisah secara fisik (badan), bukan berpisah dengan ucapan misal karena banyaknya pembeli sehingga harus melayani yang lainnya.







2.      Implementasi Kaidah diatas terhadap transaksi-transaksi Muamalah
1.      Jual Beli (Al-bai’)
Definisi jual-beli menurut Drs. H. Ahmad Wardi Muslich, jual-beli menurut etimologi berarti:
مُقَا بَلَةٌ شَيْئٍ بِشَيْئٍ
Tukar menukar sesuatu dengan sesuatu yang lain
Sayyid Sabiq Mengartikan Jual beli menurut bahasa sebagai berikut.
اَلْبَيْعُ مَعْنَاهُ لُغَةً مُطْلَقُ الْمُبَادَلَةُ
Pengertian jual beli menurut bahasa adalah tukar-menukar secara mutlak.
Bai’ secara istilah adalah pemindahan hak milik kepada orang lain dengan imbalan harga. Sedangkan syira’ pembelian ialah penerimaan barang yang dijual (dengan menyerahkan harganya kepada si penjual). Dan seringkali masing-masing dari kedua kata tersebut diartikan jual beli. Atau juga yang dimaksud ialah tukar-menukar harta secara suka sama suka, atau memindahkan milik dengan mendapat tukar menurut cara yang diizinkan agama.
Abu Bakar Ad-Dimyati Al-Mishriy dalam kitabnya menyebutkan pengertian jual beli menurut Syara’ yaitu.
مقا بلة مال بمال على وجه مخصو ص                                               
Tukar-menukar harta dengan harta dengan syarat-sayrat yang telah ditentukan.
Dalam pengertian istilah syara’, terdapat beberapa definisi yang dikemukakan oleh ulama’ madzhab:
a)      Hanafiah. Jual beli adalah menukar benda dengan dua mata unag (emas dan perak) dan semacamnya atau tukar menukar barang dengan uang atau semacamnya menurut cara yang khusus.
b)      Malikiyah. Jual beli adalah akad mu’awadloh (timbal balik) atas selain manfaat dan bukan pula untuk menikmati kesenangan.
c)      Syafi’iyah. Suatu akad yang mengandung tukar-menukar harta dengan harta dengan syarat yang akan diuraikan nanti untuk memperoleh kepemilikan atas benda atau manfaat untuk waktu selamanya.
d)     Hanabillah. Jual beli adalah tukar menukar harta dengan harta, atau tukar menukar manfaat yang mubah dengan manfaat yang mubah untuk waktu selamanya, bukan riba’ dan bukan utang.
Jadi Buyu’ adalah suatu akad tukar menukar barang dengan syarat-syarat yang telah ditentukan. Contoh aplikasi kaidah ini dalam transaksi Al-bai’ yaitu: ketika si A membeli beras dengan harga kontan harus menyebutkan secara jelas dan gamblang terhadap objek transaksinya, baik dari jenis beras, massa/berat beras, sehingga tidak terjadi kekeliruan dan multitafsir, lalu setelah akad hendaklah langsung dilaksanakan jangan ditunda lagi, karena jika ditunda akan merubah essensi akad bai’tersebut. Inilah pentingnya implementasi dari kaidah yang saya bahas, bahwasannya setiap akad harus diucapkan secara jelas dan gamblang lalu dilaksanakan setelah akad tersebut disepakati, jika tidak dilaksanakan atau ditunda akan merubah esensi akad yang disepakati bahkan bias masuk kategori wanprestasi. 



Jual Beli Salam adalah jual beli sesuatu dengan ciri-ciri tertentu yang akan diserahkan pada waktu tertentu. Misalnya, seorang muslim membeli barang dengan ciri-ciri tertentu misalnya makanan atau hewan dsb. Yang akan diterimanya pada waktu tertentu, ia bayar harganya dan menunggu waktu yang telah disepakati untuk menerima barangnya. Jika waktunya telah tiba, penjual menyerahkan barang tersebut kepadanya.
Salam diperbolehkan karena termasuk jual beli. Rasulullah bersabda, “Barangsiapa melakukan salam pada sesuatu hendaklah ia melakukan salam dalam takaran tertentu, dan waktu tertentu” (HR. Muslim).
Abdullah bin Abbas berkata, “Ketika Rasulullah tiba di Madinah, orang-orang Madinah melakukan salam pada buah-buahan selama setahun atau 2 atau 3 tahun dan beliau tidak mengingkarinya” (Muttafaq ‘alaih).

3.      Al-Qobdhu Fil Muamalah/Bai’ Naqdan (Jual beli kontan)
Adalah salah satu dari kegiatan jual beli, Qobdhun berarti memegang, secara terminology dapat kita artikan bahwa qobdhu fil muamalah adalah kegiatan transaksi yang dilakukan secara langsung oleh penjual dan pembeli, dan objek transaksinya ada pada saat itu.
Hadits Nabi yang menjelaskan tentang Al-Qobdhu fil muamalah,
“barang siapa yag melakukan transaksi (jual beli) makanan, hendaklah jangan dibeli (transaksi) sampai memegangnya (objek transaksi)”
4.      Rahn (Pinjaman dengan Jaminan)
Secara etimologi, rahn berarti Al-Tsubut dan Al-Habs ( tetap dan lama ), yakni tetap atau berarti Al-Habsu Wallazum ( pengekangan dan keharusan ). “Penahanan terhadap suatu barang dengan hak sehingga dapat dijadikan sebagai pembayaran dari barang tersebut.”
Menjadikan suatu benda berharga dalam pandangan syara’ sebagai jaminan atas utang selama ada dua kemungkinan, untuk mengembalikan uang itu atau mengambil sebagian benda itu.”
Dasar Hukum,
Para ulama sepakat bahwa rahn dibolehkan, tetapi diwajibkan sebab gadai hanya jaminan saja jika kedua belah pihak tidak menyetujui. Firman Allah SWT. :فرهان مقبوضة Pada ayat diatas adalah irsyad (anjuran baik) saja kepada orang beriman sebab lanjutan dalam ayat tersebut dinyatakan dalam surat al-Baqarah ayat 283.
Menyangkut perjanjian gadai ini dalam syariat Islam dihukumkan sebagai perbuatan jaiz atau yang dibolehkan, baik menurut ketentuan al-Quran, Sunah, maupun Ijma’ ulama. Dasar hukum tentang kebolehan ini dapat dilihat dalam ketentuan al-Quran sebagai berikut :
a. al-Quran
Artinya:
“Akan tetapi, jika sebagian kamu mempercayai sebagian yang lain, hendaklah yang dipercaya itu menunaikan amanatnya (umatnya).” (QS.Al-Baqarah : 283 ).
b. As-Sunah
Dari Siti Aisyah r.a. bahwa Rasulullah SAW; pernah membeli makanan dengan menggadaikan baju besi” ( HR.Bukhari dan Muslim ).

5.      Wakalah (Perwakilan)
Wakalah ialah penyerahan dari seseorang kepada orang lain untuk mengerjakan sesuatu, perwakilan berlaku selama yang mewakilkan masih hidup. Keabsahan wakalah setiap perkataan (muwakkil) yang menunjukan terhadap ijinnya.
Dan demikianlah Kami bangunkan mereka agar mereka saling bertanya di antara mereka sendiri. Berkatalah salah seorang di antara mereka: “Sudah berapa lamakah kamu berada (di sini?)”. Mereka menjawab: “Kita berada (di sini) sehari atau setengah hari”. Berkata (yang lain lagi): “Tuhan kamu lebih mengetahui berapa lamanya kamu berada (di sini). Maka suruhlah salah seorang di antara kamu pergi ke kota dengan membawa uang perakmu ini, dan hendaklah dia lihat manakah makanan yang lebih baik, maka hendaklah dia membawa makanan itu untukmu, dan hendaklah dia berlaku lemah lembut dan janganlah sekali-kali menceritakan halmu kepada seseorangpun. (Qs. Al-Kahfi;19)
Maka kirimlah seorang hakam dari keluarga laki-laki dan seorang hakam dari keluarga perempuan” (Qs. An-Nisa;35)
Dari Jabir ra, bahwa Nabi SAW. Menyembelih kurban sebanyak 63 ekor hewan dan Ali ra, disuruh menyembelih binatang kurban yang belum disembelih. (Riwayat Muslim).
6.      Ijarah (Sewa-menyewa dan Ufah)
pengertian
Idris Ahmad dalam bukunya yang berjudul Fiqh Syafi’I, berpendapat baahwa Ijarah berarti upah-mengupah, hal ini terlihat ketika beliau menerangkan rukun dan syarat upah-mengupah, sedangkan A. Marjuki sebagai penerjemah Fikih sunnah karya sayyid sabiq menjelaskan makna Ijarah dengan sewa-menyewa.
Atau dengan kata lain Ijarah ialah menukar sesuatu dengan ada imbalannya, diterjemahkan kedalam bahasa Indonesia berarti sewa-menyewa, upah-mengupah, adapun sewa-menyewa yaitu menjual manfaat sedangkan dari kata upah-mengupah yaitu menjual tenaga atau kekuatan.
Dasar Hukum.
Jika mereka telah menyusukan anakmu, maka berilah upah mereka ( Al-thalaq;6)
Salah seorang dari kedua wanita itu berkata: “Ya bapakku ambillah ia sebagai orang yang bekerja (pada kita), karena sesungguhnya orang yang paling baik yang kamu ambil untuk bekerja (pada kita) ialah orang yang kuat lagi dapat dipercaya”.(Al-Qashash;26)
“Berbekamlah kamu, kemudian berikanlah olehmu upahnya kepada tukang bekam itu” Riwayat Bukhari dan Muslim).
“Berikanlah olehmu upah kepada orang sewaan sebelum keringatnya kering” (Riwayat Ibnu Majah).
7.      Musaqoh
Kiranya dapat dipahami bahwa yang di maksud dengan Musaqah adalah akad antara pemilik dan pekerja untuk memelihara pohon, sebagai upahnya adalah buah dari pohon yang di urus.Rasulullah bersabda : “Memberikan tanah khaibar denga bagian separuh dari penghasilan, baik buah-buahna maupun pertanian. Pada riwaayat lain menyatakan bahwa rasul menyerahkan tanah khaibar itu kepada Yahudi, untk di olah dan modal dari hartanya, penghaislan separonya untk Nabi”.
8.      Muzara’ah dan Mukhabarah
Pengertian
Dalam memahami Mukhbarah dan Muzara’ah ada kesamaan dan ada pula perbedaaannya. Persamaannya ialah antara Mukhabarah dan Muzara’ah terjadi pada peristiwa yang sama, yaitu pemilik tanah menyerahkan tanahnya kepada orang lain untuk dikelola. Perbedaannya ialah pada modal, bila modal dari pengelola, maka di sebut Mukhabarah, dan bila modal dikeluarkan dari pemilik tanah, maka di sebut Muzara’ah.
Dasar Hukum
Dasar Hukum yang digunakan para ulama dalam menetapkan hokum mukhabarah dan muzara’ah adalah sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Bukhari dan Muslim dari Ibnu Abbas RA
Sesungguhnya Nabi SAW. Menyatakan,; tidak mengharamkan bermuzara’ah, bahkan beliau menyuruhnya, supay yang sebagian menyayangi sebagian yang lain, dengan katanya;barang siapa yang memiliki tanah, mak hendaklah ditanaminyaatau di beri faedahnya, kepada saudaranya, jika ia tidak mau, mak boleh di tahan saja tanah itu” .


9.      Ariyah (Pinjaman/Pemberian).
Penertian
Ariyah adalah memberikan manfaat suatu barang dari seseorang kepada orang lain secara Cuma-Cuma (geratis0, bila digantikan dengan sesuatu atau ada imbalannya, maka hal itu tidak disebut ariyah. Atau memberikan sesuatu manfaat yang halal kepada orang lain untuk diambil manfaatnya dengan tidak merusakan dzatnya, agar zat barang itu dapat dikembalikan.
Dasar Hukum
Sesungguhnya Allah menyuruh kamu menyampaikan amanat kepada yang berhak menerimanya, (An-Nisa;58)
Dan enggan (menolong dengan) barang berguna. (Al-Ma’un;7)
Dan tolong-menolonglah kamu untuk berbuat kebaikan dan taqwa dan janganlah kamu tolong-menolong untuk berbuat dosa dan permusuhan” (al-maidah :2)
“Sampaikanlah amanat orang yang memberikan amanat padamu dan janganlah kamu khianat sekalipun dia khianat kepadamu” (Dikeluarkan oleh Abu Dawud)
10.  Al-Wadi’ah
Al-Wadi’ah adalah penitipan yaitu akad seseorang kepada yang lain dengan menitifkan suatu benda untuk dijaganya secara layak (sebagai manahalnya kebiasaan). Dan apabila ada kerusakan pada benda titipan, padahal benda tersebut sudah dijaga sebagaimana layaknya, maka penerima titipan tidak wajib menggantikannya, tetapi bila kerusakannya disebabkan oleh kelalaiannya, maka wajib menggantinya.
Al-wadi’ah adalah amanat bagi orang yang menerima titipan dan ia wajib mengembalikannya pada waktu pemilik meminta kembali, Firman allah SWT:
“Jika sebagian kamu mempercayai sebagian yanglain, maka hendaklah yang di percaya itu menunaikan amanatnyadan bertaqwalah kepada Allah sebagai tuhannya”.(al-baqarah : 283).
“Tidak ada kewajiban menjamin untuk orang yang diberi amanat” (Riwayat al-Baihaqi)
11.  Ihya al-Mawat
Ihya al-Mawat adalah dua lafadz yang menunjukan satu istilah dalam Fiqh dan mempunyai maksud tersendiri. Bila diterjemahkan secara literer ihya berarti menghidupkan dan mawat berasal dari maut yang berarti mati atau wafat.
Sedangkan pengertian al-mawat menurut al-rafi’i ialah
الارض التى لامالك لها ولا ينتفع بها احد
“Tanah yang tidak ada pemiliknya dan tidak ada yang memanfaatkanya seorangpun.”
Rujukan (sumber hukum) yang dipakai oleh para ulama mengenai ihya al-mawat ialah al-hadis seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah ra,bahwa Nabi Saw .bersabda:
من عمر ارضا ليست لاحد فهو احق بها
“Barang siapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang maka dialah yang berhak atas tanah itu”
Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Samurah Ibn Jundab bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Barang siapa yang telah membuat suatu dinding di bumi itu berarti telah menjadi haknya”
Madzhab Malik dan Ahmad berbeda pendapat bahwa seseorang yang akan membuka tanah baru atau akan memfungsikan tanah tidak wajib untuk meminta ijin kepada penguasa sebab rasulullah saw bersabda:
من احيا ارضا ميتة فهي له
“Barang siapa yang mengidupkan tanah mati maka akan menjadi miliknya”
Muhammad Anwar dalam bukunya Fiqh Islam berpendapat apabila tanah tersebut dikauasai oleh pemerintah maka yang akan mengelola harus meminta ijin kepada pemerintah. Selanjutnya dikatakan apabila ada tanah kosong yang tidak diketahui oleh pemiliknya dan tidak diketahui pula tempat tinggalnya, tetapi tanda-tanda secara jelas menunjukan bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengelolanya, tanah tersebut harus dikuasai oleh negara.
Dijelaskan oleh Idris Ahmad bahwa tanah kosong yang berada di lingukngan negara islam boleh dimiliki oleh orang islam baik yang diijinkan oleh pemerintah maupun tidak.apabila tanah kosong dilingkungan orang kafir maka orang-orang islam dibolehkan mengusahakanya apabila mereka tidak dilarang.
Rujukan (sumber hukum) yang dipakai oleh para ulama mengenai ihya al-mawat ialah al-hadis seperti hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari dari Aisyah ra,bahwa Nabi Saw .bersabda:
من عمر ارضا ليست لاحد فهو احق بها
“Barang siapa yang membangun sebidang tanah yang bukan hak seseorang maka dialah yang berhak atas tanah itu”
Sebuah hadist yang diriwayatkan oleh Imam Abu Dawud dari Samurah Ibn Jundab bahwa Rasulullah Saw. bersabda:

“Barang siapa yang telah membuat suatu dinding di bumi itu berarti telah menjadi haknya”
Madzhab Malik dan Ahmad berbeda pendapat bahwa seseorang yang akan membuka tanah baru atau akan memfungsikan tanah tidak wajib untuk meminta ijin kepada penguasa sebab rasulullah saw bersabda:
من احيا ارضا ميتة فهي له
“Barang siapa yang mengidupkan tanah mati maka akan menjadi miliknya”
Muhammad Anwar dalam bukunya Fiqh Islam berpendapat apabila tanah tersebut dikauasai oleh pemerintah maka yang akan mengelola harus meminta ijin kepada pemerintah. Selanjutnya dikatakan apabila ada tanah kosong yang tidak diketahui oleh pemiliknya dan tidak diketahui pula tempat tinggalnya, tetapi tanda-tanda secara jelas menunjukan bahwa tanah tersebut sudah ada yang mengelolanya, tanah tersebut harus dikuasai oleh negara.
Dijelaskan oleh Idris Ahmad bahwa tanah kosong yang berada di lingukngan negara islam boleh dimiliki oleh orang islam baik yang diijinkan oleh pemerintah maupun tidak.apabila tanah kosong dilingkungan orang kafir maka orang-orang islam dibolehkan mengusahakanya apabila mereka tidak dilarang.
12.  Pemberian (Hibah wal Atiyah)
Pemberian dalam bahasa arab disebut alhibah, adapun definisi-definisi alhibah secara lebih jelas sebagai berikut.
Ø Al hibah yakni pemberian sesuatu kepada orang lain untuk dimiliki zatnya tanpa tanpa mengharapkan penggantian . menurut imam Taqiy al din abi bakr ibnu Muhammad al Husaini ialah “pemilikan tanpa penggantian “
Ø Shadaqah ialah pemberian zat benda dari seseorang kepada orang lain dengan tanpa mengganti dan hal ini dilakukan karena ingin memperoleh ganjaran dari Allah.
Ø Washiat, yakni pemberian seseorang kepada orang lain yang diakadkan ketika hidup yang diakadkan ketika hidup dan diberikan seytelah yang mewasiatkan meninggal dunia.
Ø Hadiah ialah pemberian dari seseorang kepada orang lain tanpa mengharapkan penggantian dengan maksud untuk memuliakan.
Dasar Hukum
……Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa,…(Qs.Al-Maidah;2)
dalam salah satu hadits yang diriwayatkan oleh bukhari dan Abu Dawud dari Aisyah ra. Berkata: “Pernah nabi menerima hadiah dan balasannya hadiah itu”









BAB III
PENUTUP
A.    Kesimpulan
Dari kaidah تنعقد المعاملة بما يدل عليها من قول او فعلtetapnya akad muamalah yang ditunjukan oleh ucapan dan perbuatanini sangatlah penting dalam aplikasi transaksi muamalah di kehidupan sehari-hari, berkenaan dengan akad yang harus dilafalkan dengan jelas agar tidak terjadi kekeliruan dalam menentukan objek transaksi, juga diikuti dengan perbuatan yang diperjanjikan dalam akad, jikalau tidak sesuai dengan akad, maka akan dianggap wanprestasi dan menyalahi ketentuan yang tertera dalam akad. Kaidah ini dapat kita implementasikan dalam transaksi-transaksi muamalah, seperti:
Ø  Jual Beli (Al-bai’)
Ø  Al-Qobdhu Fil Muamalah/Bai’ Naqdan (Jual beli kontan)
Ø  Rahn (Pinjaman dengan Jaminan)
Ø  Wakalah (Perwakilan)
Ø  Ijarah (Sewa-menyewa dan Ufah)
Ø  Musaqoh
Ø  Muzara’ah dan Mukhabarah
Ø  Ariyah (Pinjaman/Pemberian).
Ø  Al-Wadi’ah
Ø  Ihya al-Mawat
Ø  Pemberian (Hibah wal Atiyah)
Dalam implementasi di kehidupan sehari-hari, bahkan diperbankan syariah masih terjadi distorsi dalam mengaplikasikan akad, sehingga berdampak pada proses akad yang tidak sempurna, yang menimbulkan sengketa antara pihak yang berakad. Hal yang paling fundamental dalam transaksi adalah akad yang baik dan juga memenuhi syarat keabsahan suatu akad.










DAFTAR PUSTAKA

As-Sa’idan, Walid Ibnu Rasyid. Tt. Qowa’idul Buyu’ wa Faraidul Furu’.“Paper”.
Jalaludin As-Sayuthi. Al-Jami’ As-Shagier. (Bairut: Daar Al-Kotob Al-Ilmiyah. 2006)
Al-Maudho’ Riwayat yahya Al-laisii.(program maktabah syamilah versi II). Jilid 2
T.M Hasbi As syiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah. (Jakarta: Bulan Bintang.1974)
Ade Armando dkk. Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar.(Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve)
Hasabu tarkimul Fathu Al-Barrii, Shohih Bukhari. (program maktabah asy-syamilah Versi II) jilid III


[1] Asy-Syaidani Walid Bin Rasyid.Qowqaid Al-Buyu’ Wa Faraid al-Furui’. Hal.15
[2] Shohih Al-Bukhari, (Program Maktabah As Syamilah Edisi II)jilid III, Hal.84 lihat juga dalam kitab Bidayatul Mujtahid, jilid II Hal.798
[3] Gemala Dewi, Widyaningsih,Yeni Salma Barlinti, Hukum Perikatan Islam di Indonesia. (Jakarta : Kencana, Edisi pertama, cetakan pertama, 2005)hal.45
[4] Hasabu tarkimul Fathu Al-Barrii, Shohih Bukhari. (program maktabah asy-syamilah Versi II) jilid III, Hal. 259
[5] T.M Hasbi As syiddieqy, Pengantar Fiqh Muamalah. (Jakarta: Bulan Bintang.1974)hlm.23
[6] Ade Armando dkk. Ensiklopedi Islam Untuk Pelajar.(Jakarta: PT Ikhtiar Baru Van Hoeve)hal.77
[7] Al-Maudho’ Riwayat yahya Al-laisii.(program maktabah syamilah versi II). Jilid 2.hal. 671
[8] Jalaludin As-Sayuthi. Al-Jami’ As-Shagier. (Bairut: Daar Al-Kotob Al-Ilmiyah. 2006)Hal.153

 















Komentar