FILOSOFI DAN PERWUJUDAN PRINSIP TAUHȊDULLAH, DAN AL-‘ADÂLAH, DALAM IJARAH, DAN IJARAH MUNTAHIA BI-TAMLIK (IMBT)

Oleh    : M. E. Burhanudin (2170110027)
Mahasiswa Program Pascasarjana Hukum Ekonomi Syariah UIN SGD Bandung

Abstract
This paper describes about the philosophy and the embodiment prinsisp of Tauhȋdullah and Al-Adalah in Ijarah and Ijarah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT). In this paper will have the discussion on the definition of the principles put forward Tauhȋdullah and Al-'Adalah, the explanation of Ijarah, Ijara Muntahia Bi-Tamlik (IMBT), the embodiment of the principle of Ijarah and Ijarah Tauhȋdullah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT), the embodiment of the principle of Al-Ijarah and Ijarah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT). And concluded that Tauhȋdillah principle as a principle which provides binding rules between man and his Lord, and Al- Adalah principle as a principle that will make an impact of harmony to human being, as with the values of justice there will be no party who feel aggrieved or oppressed. So as to understand the Tauhȋdillah embodiment in Ijarah and Ijarah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT) then the system of Ijara and IMBT will be applied correctly in accordance with Islamic law.
Keyword: Tauhȋdullah, Al-‘Adâlah, Ijarah, IMBT

Abstrak
Paper ini menjelaskan tentang bagaimana filosofi dan perwujudan prinsip Tauhȋdullah dan Al-‘Adalah dalam ijarah dan Ijarah Muntahia Bi- Tamlik (IMBT). Dalam pembahasannya mengemukakan tentang pengertian prinsip Tauhȋdullah dan Al-‘Adalah, pengertian ijarah, pengertian Ijarah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT), dan perwujudan prinsip Tauhȋdullah dalam Ijarah dan Ijarah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT), serta perwujudan prinsip Al-‘Adalah dalam ijarah dan Ijarah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT). Dan menyimpulkan bahwa Prinsip Tauhȋdillah sebagai suatu prinsip yang memberikan aturan yang mengikat antara manusia dengan Rabb-nya, dan prinsip Al-‘Adalah sebagai suatu prinsip yang akan memberikan dampak kerharmonisan kepada sesama manusia, karena dengan adanya nilai-nilai keadilan maka tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan atau dizalimi. Sehingga dengan memahami adanya perwujudan Tauhȋdillah dalam ijarah dan Ijarah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT), maka sistem ijarah dan IMBT akan diterapkan dengan benar sesuai dengan syariat Islam.
Kata Kunci: Tauhȋdillah, Al-‘Adâlah, Ijarah, IMBT


PENDAHULUAN
Dalam istilah hukum Islam, prinsip memiliki makna yang sama dengan hukum atau aturan. Prinsip semakna dengan al-mabȃdi. Prinsip bersifat umum, ia dikatagorikan sebagai al-qȃ’idah al-kulliyah. Prinsip hukum Islam atau mabȃdi al-syarȋ’ah diberlakukan pada hukum Islam secara menyeluruh (Hakim, 2011). Prinsip ada di setiap bagian-bagian dari berbagai kajian tentang hukum Islam, baik itu dalam bidang fiqih muamalah, pernikahan, waris dan bagian-bagian fiqih lainnya.
Ijarah dan Ijarah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT) merupakan bagian dari objek kajian yang terdapat dalam fiqih muamalah, sedangkan fiqih muamalah adalah bagian dari hukum Islam. Dalam hukum Islam terdapat beberapa prinsip, dari beberapa prinsip yang ada dalam hukum Islam yang paling utama yaitu prinsip Al-Tauhȋd. Selain prinsip Tauhȋdullah, ada juga prinsip Al-‘Adalah yang tidak kalah pentingnya ketika Ijarah dan IMBT diterapkan dalam praktiknya.
Pada tatanan pengimplementasian Ijarah dan IMBT seharusnya prinsip Tauhȋdullah dan Al’Adalah dijadikan sebagai pedoman dalam penerapannya. Akan tetapi seringkali kedua prinsip ini dikesampingkan, artinya ketika pada tatanan praktik, kedua prinsip ini tidak dijadikan pedoman utama. Keadaan ini menurut hemat penulis mencerminkan bahwa perwujudan prinsip Tauhȋdullah dan Al’Adalah belum begitu dipahami baik secara filosofi maupun perwujudannya dalam Ijarah dan IMBT. Dengan demikian pada paper ini penulis akan mengemukakan gagasan tentang filosofi dan perwujudan prinsip Tauhȋdullah dan Al- ‘Adalah dalam Ijarah dan IMBT.


PEMBAHASAN
Prinsip Tauhȋdullah (Al-Tauhȋd) dalam Ijarah dan IMBT
Prinsip tauhid merupakan prinsip yang meng-Esa-kan Allah SWT, mengimani dengan sepenuh hati bahwa Dia-lah Allah yang Maha Esa, tempat meminta segala sesuatu, tidak ada sesuatupun yang dapat menyetarai-Nya. Keimanan kepada Allah adalah wujud dari tauhid.
Tauhid merupakan konsep paling penting dan mendasar, karena tauhid adalah dasar pelaksanaan segala aktivitas baik yang menyangkut ibadah secara umum, maupun yang menyangkut tentang muamalah (Hakim, 2012).
Tauhid adalah iman yang teguh dan pasti, yang tidak ada keraguan sedikitpun bagi orang yang meyakininya (Fahmi, 2014). Tauhid merupakan inti ajaran islam, sedangkan inti ajaran tauhid adalah monotheis (laa ilaaha illa Allah) (yaitu ajaran tentang hakikat ke-Esaan Allah Swt. Esa dalam segalanya, zat, sifat, dan perbuatan. Dengan demikian tauhid adalah eksistensi keIslaman. Allah adalah Pencipta, dan Pemelihara alam. Dia adalah pencipta hukum (Haakim) ,(Hakim, 2011).
Segala yang ada di muka bumi ini berasal dari ciptaan Allah dan segala sesuatu yang ada, diatur oleh Allah Swt. Artinya hukum itu berasal dari Allah, tidak ada hukum kecuali hukum Allah. sehingga setiap hukum fiqih yang mengatur tentang muamalah, bersumber dari hukum Allah. Jadi dapat disimpulkan bahwa tauhid adalah keyakinan akan ke-Esaan Allah, atas segala kekuasaan dan ciptaan-Nya.
Prinsip tauhid merupakan keyakinan atas segala apa yang ada di muka bumi adalah ciptaan Allah, meyakini bahwa Allah itu Esa, Dia maha mengatur segalanya. Sehingga setiap aturan-aturan baik secara umum maupun aturan yang terdapat dalam bidang muamalah, semua bersumber dari hukum Allah yaitu Al-Qur’an.
Dalam lingkup muamalah terdapat transaksi dalam bentuk sewa- menyewa. Dalam ilmu fiqih muamalah, transaksi dalam bentuk sewa- menyewa disebut dengan ijarah. Transaksi al-ijarah (dilandasi dengan adanya perpindahan manfaat (hak guna), bukan pemindahan kepemilikan (hak milik). Ijarah didefinisikan sebagai hak untuk memanfaatkan barang/jasa dengan membayar imbalan tertentu.
Al-Ijarat (ijarah) berasal dari kata al-ajru yang arti menurut bahasanya ialah al-‘iwadh yang arti dalam bahasa Indonesianya ialah ganti dan upah (Suhendi, 2005). Ijarah dalam bahasa Inggris disebut dengan kata “leasing”. Ijarah (leasing) didefinisikan sebagai “a lease contract as well as a hire contract, (Al-Harran, 1996). Al-ijarah (ijarah) yang disebut juga lease contract dan hire contract. ia berasal dari bahasa Arab al-ajr dan merupakan turunan dari kata kerja ajara, serta termasuk mashdar al-simȃ’i. Secara bahasa ia berarti al-tsawȃb (ganjaran), al-jazȃ’ al-hasan (balasan atas kebaikan), al-jazȃ’ ‘alȃ al-‘amal (balasan atas perbuatan), dan al-‘iwadh (pergantian), (Hakim, 2011).
Secara istilah, Ijarah adalah upah sewa (ujrah) yang diberikan kepada seseorang yang telah mengerjakan suatu pekerjaan sebagai balasan atau imbalan atas pekerjaannya (Mardani, 2012). Adapun pengertian ijarah menurut pendapat beberapa ulama, sebagai berikut: (1) menurut Hanafiyah ijarah ialah akad untuk membolehkan pemilikan manfaat yang diketahui dan disengaja dari suatu zat yang disewa dengan imbalan; (2) menurut Malikiyah ijarah ialah nama akad-akad untuk kemanfaatan yang bersifat manusiawi dan untuk sebagian dapat dipindahkan; (3) menurut Syaikh Syihab Al-Din dan Syaikh Umairah ijarah ialah akad atas manfaat yang diketahui dan disengaja untuk memberi dan membolehkan dengan imbalan yang diketahui ketika itu; (4) menurut Muhammad Al-Syarbini al-Khatib ijarah ialah pemilikan manfaat dengan adanya imbalan dan syarat-syarat; (5) menurut Sayyid Sabiq ijarah ialah suatu jenis akad untuk mengambil manfaat dengan jalan penggantian; (6) menurut Hasbi Ash-Shiddiqie ijarah ialah akad yang objeknya adalah penukaran manfaat untuk masa tertentu, yaitu pemilikan manfaat dengan imbalan, sama dengan menjual manfaat (Suhendi, 2005).
Dalam fatwa DSN-MUI Ijarah didefinisikan akad pemindahan hak guna (manfaat) atas suatu barang atau jasa dalam waktu tertentu melalui pembayaran sewa/upah, tanpa diikuti dengan pemindahan kepemilikan barang itu sendiri. Ijarah adalah akad dalam sewa-menyewa antara pihak penyewa dan pihak yang menyewa melalui pembayaran sewa/upah, dengan catatan apa bila objek transaksinya adalah barang, maka barang tersebut tidak ikut berpindah kepemilikan kepada pihak yang menyewa.
Namun dengan demikian, seiring dalam masyarakat telah umum dilakukan praktik sewa-beli, dimana perjanjian sewa-menyewa disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewa, kepada penyewa, setelah selesai masa sewa, maka muncullah yang namanya Ijarah Muntahia Bit-Tamlik (IMBT). adanya IMBT ini bertujuan agar tidak terjadinya dua bentuk akad sekaligus dalam satu objek (sewa-menyewa).
Ijarah Muntahia Bit-Tamlik (IMBT) adalah transaksi sewa dengan perjanjian untuk menjual atau menghibahkan objek sewa di akhir periode sehingga transaksi ini diakhiri dengan alih kepemilikan objek sewa (Ascarya, 2008). IMBT adalah transaksi sejenis perpaduan kontrak jual- beli dan atau lebih tepatnya akad sewa yang diakhiri dengan kepemilikan barang di tangan si penyewa (Hardini & Giharto, 2012). Menurut fatwa DSN-MUI IMBT adalah perjanjian sewa-menyewa yang disertai dengan opsi pemindahan hak milik atas benda yang disewakan kepada penyewa, setelah selesai masa sewa. IMBT merupakan kombinasi antara sewa- menyewa (ijarah) dan jual beli atau hibah di akhir masa sewa. Sehingga dalam IMBT ini, pemindahan hak milik barang terjadi dengan salah satu dari dua cara: bisa jadi pihak yang menyewakan berjanji akan menjual barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa, atau bahkan pihak yang menyewakan berjanji akan menghibahkan barang yang disewakan tersebut pada akhir masa sewa.
Pada prinsipnya ijarah dan IMBT ini sama, sama-sama akad dalam transaksi sewa-menyewa. Namun yang membedakanya adalah ijarah akad sewa-menyewa yang apabila periode masa sewa habis maka hak kepemilikan barang masih menjadi hak milik pihak yang menyewakan. Sedangkan IMBT adalah akad sewa-menyewa yang apabila periode masa sewanya telah selesai maka hak kepemilikan berpindah kepada pihak yang menyewa, yang dilakukan baik dengan cara jual-beli dan atau dengan cara pemberian/hibah.
Ijarah ataupun IMBT merupakan bagian dari beberapa akad yang terdapat dalam objek kajian fiqih muamalah. Ia muncul karena adanya ijtihad para fuqaha untuk memberikan aturan pada sistem sewa-menyewa dalam bermuamalah. Ijtihad para fuqaha tentang ijarah tentu bersumber dari hukum Allah dan Rasul-Nya yaitu Al-Qur’an dan Al-Hadits. Sehingga pemikiran para fuqaha harus sejalan dengan norma-norma hukum Allah Swt. Dengan demikian meyakini bahwa segala aturan bersumber dari hukum Allah, itu merupakan dari prinsip tauhid.
Kembali lagi kepada pengertian ijarah itu sendiri yang menjelaskan bahwa ijarah merupakan akad sewa-menyewa atau pemindahan hak guna manfaat barang atau jasa melalui dengan cara pembayaran sewa/upah, tentu ijarah hadir dengan berdasarkan dari sumber hukum Allah dan Rasul-Nya yakni Al-Qur’an dan Al-Hadits. Adapaun landasan hukum yang terdapat dalam Al-Qur’an tentang ijarah yaitu bersumber kepada Q.S.Al-Baqarah [2]:233; Q.S. At-Thalaaq [65]:6; dan juga sabda Rasulullah Saw. Dalam hadits Bukhari (2159) dan Muslim (1202) yang diriwayatkan dari Ibnu Abbas, ia berkata: “Rasulullah berbekam dan memberikan upah kepada tukang bekam”.(HR. Bukhari Muslim). Dan dalam hadits lain Nabi Saw. juga bersabda: “Berikanlah oleh mu upah kepada seorang pekerja sebelum keringatnya kering”(HR. Ibnu Majjah).
Allah Swt.
Allah SWT adalah pencipta aturan atau hukum. Hukum atau aturan tersebut tertuang kedalam Al-Qur’an kemudian diperjelas dengan Rasulullah SAW melalui Hadits. Sehingga dari ayat Al-Qur’an dan Hadits Rasulullah tersebut, dipelajari dan dipahami oleh para ulama sehingga lahirlah ilmu fiqih muamlah. Sehingga dalam fiqih muamalah hasil ijtihad para fuquha munculah yang namanya akad ijarah dalam transaksi sewa-menyewa. Apabila digambarkan garis nilai tauhid dalam ijarah dapat sebagai berikut:

Al-Qur’an dan Al-Hadits
Fiqh Muamalah/ Fatwa DSN MUI
Ijaraoh, IMBT
Dipelajari dan dipahami oleh para Ulama
 













Gambar 1 Garis Nilai Tauhid dalam Ijarah, IMBT
Dari gambar garis nilai tauhid di atas, dapat difahami bahwa perwujudan prinsip al-tauhȋd dalam ijarah terletak pada aturan atau norma yang terdapat dari rukun dan syarat yang ada pada akad ijarah itu sendiri. Prinsip al-tauhȋd merupakan prinsip yang berorientasi kepada keyakinan atas ke-Esa-an Allah SWT artinya setiap aspek yang ada di muka bumi ini tidak dapat terlepas dari adanya sumber aturan atau hukum Allah. Allah adalah pencipta aturan, yang mana aturan itu tertuang dalam Al-Qur’an dan Hadits. Al-Qur’an dan Hadits kemudian difahami dan dipelajari oleh para ‘alim ulama, sehingga terbentuklah suatu paham atau aturan dari hasil ijtihad dalam bidang muamalah. Dalam bidang fiqih muamalah ini, dari hasil para ijtihad para ulama tersebut maka ditemukan dalil syara’ yang terdapat dari Al-Qur’an dan Hadits sehingga lahirlah sebuah bentuk atau jenis transaksi yang disebut dengan ijarah.
Jadi dapat disimpulkan bahwa ijarah terlahir akibat dari adanya ijtihad para ulama, bersumber dari Al-Qur’an dan hadits yang merupkan bentuk aturan yang dituangkan oleh Allah dan Rasul-Nya untuk ditaati. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa disinilah letak dari prinsip altauhȋd dalam ijarah.
Prinsip Al-‘Adȃlah dalam Ijarah, IMBT
Keadilan dipahami sebagai ketidakberpihakan kepada salah satu dari dua pihak, dalam makna yang khusus maka keadilan yang dimaksud adalah tidak terjadinya pertentangan antara seseorang dengan orang lainnya karena tidak ada satu orang pun yang dizalimi, (Fahmi, 2014). Islam menempatkan kata ‘adil kedalam tiga tempat, yakni: keseimbangan, kesamaan atau nondiskriminasi dan pemberian hak kepada yang berhak, (Murtadha, 2009). Makna ‘Adil merupakan suatu gabungan nilai-nilai moral dan sosial yang menunjukkan kejujuran, keseimbangan, kesederhanaan dan keterusterangan (Khadduri, 1999).
Para ulama mendefinisikan ‘adil adalah menempatkan sesuatu pada tempatnya, memberikan hak kepada pemilik hak-haknya, dan tidak mengurangi dan juga tidak melebihkan (Hamid, 2007). Keadilan dalam bahasa Arab disebut al-‘adalat dan dalam bahasa Inggris disebut justice. Keadilan adalah lawan dari kezhaliman. Ia sangat berdekatan dengan kebaikan (al-ihsan). Menurut perspektif Al-Qur’an keadilan memiliki empat macam arti, yaitu: (1) Adil berarti “sama” (al-musawat). Seperti yang diterangkan dalam Q.S. An-Nisa’[4]: 58. Pengertian ‘adil yang memiliki arti “sama” ini khithabnya adalah hakim di persidangan. Artinya ayat ini menuntun para hakim untuk menempatkan para pihak yang berperkara dalam posisi yang sama. (2) Adil berarti “seimbang” (al-mizan). Seperti yang diterangkan dalam Q.S. Al-Hadid [57]: 25 dan Q.S. Al- Rahman [55]: 9:, (3) Keadilan ialah memelihara hak individu dan memberikannya kepada yang berhak. (4) Keadilan yang dinisbatkan kepada Allah SWT, artinya memelihara hak berlanjutnya eksistensi (Hakim, 2011).
Menurut Qurdhawi dalam Dewi, Wirdyaningsih, & Barlinti (2007) keadilan adalah keseimbangan antara berbagai potensi individu, baik moral ataupun materiil, antara individu dan masyarakat, dan masyarakat satu dengan lainnya yang berlandaskan dengan syariat Islam. Bertindak adil adalah salah satu prinsip dalam Islam, sehingga keadilan begitu banyak dijelaskan dalam nash Al-Qur’an. Allah memerintahkan kepada kita untuk bertindak adil, sebagaimana yang terdapat dalam Q.S.An-Nahl [16]: 90: “Sesungguhnya Allah menyuruh (kamu) Berlaku adil…”.
Berlaku ‘adil akan memberikan dampak kepada kebaikan (al-ihsan), karena keadilan akan memberikan kesamaan, keseimbangan, dan memberikan hak kepada yang berhak. Keadilan begitu berdekatan dengan kemakmuran dan kesejateraan.
Dengan demikian untuk dapat melihat prinsip keadilan dalam transaksi yang menggunakan akad ijarah, terlebih dahulu kita harus mengetahui tentang rukun dan syarat dalam ijarah itu sendiri. Adapun rukun dan syarat ijarah dapat dilihat berikut ini: (1) Mu’jir dan musta’jir yaitu pihak yang melakukan akad sewa-menyewa atau upah-mengupah. Mu’jir adalah pihak yang memberikan upah atau yang menyewakan. Musta’jir adalah pihak yang menerima upah untuk melakukan sesuatu dan yang menyewa sesuatu. Dan adapun syarat mu’jir dan musta’jir yakni baligh, berakal, cakap melakukan tasharruf (mengendalikan harta), serta saling meridhai, dan bagi orang yang melakukan transaksi dengan akad ijarah juga disyaratkan untuk mengetahui manfaat barang yang diakadkan dengan sempurna sehingga dapat mencegah terjadinya perselisihan atau hal-hal yang tidak diinginkan lainnya; (2) Shighat atau ijab kabul, anatar mu’jir dan musta’jir; (3) Ujrah (sewa/upah), disyaratkan diketahui jumlahnya oleh keduabelah pihak, baik dalam sewa-menyewa ataupun dalam upah-mengupah; (4) Barang yang disewakan atau sesuatu yang dikerjakan dalam upah-mengupah. Adapun mengenai barang yang dijadikan objek dalam akad ijarah tersebut disyaratkan: hendaklah barang yang dijadikan objek akad sewa-menyewa dan upah-mengupah dapat dimanfaatkan kegunaanya, benda yang disewa adalah perkara yang mubah (boleh) menurut syara’ bukan hal yang dilarang (diharamkan), dan benda yang disewakan disyaratkan kekal ‘ain (zat)-nya hingga waktu yang ditentukan menurut perjanjian dalam akad (Suhendi, 2005).
Dalam transaksi yang menggunakan akad ijarah, apabila secara rukun dan syarat telah terpenuhi makan pemberian sewa upah (ujrah) dalam transaksi ini adalah hak yang harus diberikan kepada yang berhak. Semisal, seorang pemborong proyek bangunan mempekerjakan orang sewaannya, maka pemborang tersebut memiliki kewajiban untuk memberikan sewa upah (ujrah) kepada orang sewaan tersebut sebagai imbalan dari hasil kerjanya.
Dalam contoh lain, misalnya pada fasilitas jasa rental mobil, seseorang yang ingin merental mobil selama satu hari kepada pemilik rental, maka dalam hal ini terjadilah akad ijarah (sewa-menyewa), dimana disini pihak yang ingin merental mobil mempunyai kewajiban untuk memberikan biaya sewa kepada pihak pemilik rental, dan pemilik rental memiliki kewajiban untuk memberikan mobil kepada pihak yang merental/menyewa selama satu hari.
Atau misalnya, seorang pemilik rumah menyewakan rumah kepada pihak penyewa selama lima tahun, kemudian dalam akad disepakati bahwa ketika masa sewa rumah tersebut habis maka pemilik rumah akan menjual rumah tersebut kepada pihak yang menyewa dengan harga sesuai kesepakatan antara keduabelah pihak. Transaksi semacam ini disebut transaksi yang menggunakan akad IMBT. Sehingga dalam hal ini pihak penyewa rumah memiliki kewajiban untuk membayar sewa kepada pemilik rumah selama masa sewa dan pihak penyewapun memiliki hak untuk menempati rumah yang disewa tersebut, kemudian jika masa sewa habis maka rumah tersebutakan dijual oleh pemilik rumah kepada pihak penyewa.
Dalam transaksi yang digambarkan diatas terdapatlah prinsip yang memberikan nilai-nilai keadilan. Keadilan pada kondisi seperti ini dikelompokkan dalam keadilan yang memelihara hak individu dan memberikan hak kepada yang berhak. Maka dari uraian diatas terlihat bahwa dalam akad ijarah maupun IMBT terdapat prinsip keadilan, karena sejatinya prinsip keadilan merupakan prinsip yang bertujuan untuk menghidari kerugian dari keduabelah pihak dan rasa dizalimi dari salah satu pihak.


PENUTUP
Berdasarkan dari uraian pembahasan di atas, dapat disimpulkan bahwa prinsip tauhȋdullah dan al-‘adalah merupakan pondasi utama yang harus dijadikan pedoman dalam menerapakan sistem Ijarah dan IMBT dan transaksi-transaki lainnya. Karena dengan adanya perwujudan kedua prinsip ini, terutama dalam Ijarah dan IMBT dan dalam transaksi-transaksi muamalah lain pada umumnya, maka nilai-nilai syariah akan tercipta dalam transaksi tersebut. Prinsip tauhȋdillah sebagai suatu prinsip yang memberikan aturan yang mengikat antara manusia dengan Rabb- nya, dan prinsip al-‘adalah sebagai suatu prinsip yang akan memberikan dampak kerharmonisan kepada sesama manusia, karena dengan adanya nilai-nilai keadilan maka tidak akan ada pihak yang merasa dirugikan atau dizalimi. Sehingga dengan memahami adanya perwujudan tauhȋdillah dan al-‘adalah dalam ijarah dan Ijarah Muntahia Bi-Tamlik (IMBT), maka sistem ijarah dan IMBT akan diterapkan dengan benar sesuai dengan syariat Islam.














DAFTAR PUSTAKA
 Al-Ashfahmi, Al-Qadhi Abu Syuja’ bin Ahmad. 2009. Fikih Sunnah Imam Syafi’I: Panduan Amaliah Muslim Sehari-hari. Bekasi: PADIBandung.
Al-Harran, Saad Abdul Sattar. 1996. Islamic Finance: Partnership Financing. Malaysia: Peladuk Publications.
Ali, Zainuddin. Hukum Ekonomi Syariah. 2008. Jakarta: Sinar Grafika.
Antonio, Muhammad Syafi’i. 2001. Bank Syariah: Dari Teori ke Praktik. Jakarta: Gema Insani.
Ascarya. 2008. Akad & Produk Bank Syariah. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Departemen Agama RI. 2009. Mushaf Al-Qur’an dan Terjemah. Jakarta: Pustaka Al-Kautsar.
Dewi, Gemala, Wirdyaningsih, dan Yeni Salma Barlinti. 2007. Hukum Perikatan Islam di Indonesia. Jakarta: Kencana.
El-Gamal, Mahmoud A. 2009. Islamic Finance: Law, Economic and Practice. New York: Cambridge University Press.
Fahmi, Abu, Siswanto, Agus, Farid, Fahri, Muhammad, Arijulmanan, dan Abdurahman, eds. 2014. HRD Syariah Teori dan Implementasi Manajemen Sumber Daya Manusia Berbasis Syariah. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama.
Fatwa Dewan Syariah Nasional No.9/DSN-MUI/IV/2000, tentang pembiayaan Ijarah.
Fatwa Dewan Syariah Nasinoal No.27/DSN-MUI/III/2002, tentang pembiayaan Ijarah Muntahia Bit-Tamlik (IMBT).
Hakim, Abd. Atang. 2011. Fiqih Perbankan Syariah Transformasi Fiqih Muamalah ke dalam Peraturan Perundang-undangan. Bandung: PT. Refika Aditama.
Hakim, Lukman. 2012. Prinsip-Prinsip Ekonomi Islam. Jakarta: Erlanga.
Hamid, Arifin. 2007. Hukum Ekonomi Islam (Ekonomi Syariah) di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Hardini, Isriani dan Giharto. 2012. Kamus Perbankan Syariah. Bandung: PT Kiblat Buku Utama.
Karim, A. Adiwarman. 2011. Bank Islam: Analisis Fiqih dan Keuangan. Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Khadduri, Majid. 1999. Teologi Keadilan: Perspektif Islam. Surabaya: Risalah Gusti.
Mardani. 2012. Ayat-Ayat dan Hadits Ekonomi Syariah. Jakarta: Rajawali Pres.
Muhammad. 2000. Sistem dan Prosedur Operasional Bank Syariah. Yogyakarta: UII Press.
Mujahidin, Ahmad. 2010. Prosedur Penyelesaian Sengketa Ekonomi Syariah di Indonesia. Bogor: Ghalia Indonesia.
Suhendi, Hendi. 2005. Fiqih Muamalah, Jakarta: PT. Raja Grafindo Persada.
Syafe’i, Rachmat. 2010. Fiqih Muamalah. Bandung: Pustaka Setia.

Tim Redaksi Fokusmedia. 2011. Kompilasi Hukum Ekonomi Syariah. Bandung: Fokusmedia.



Komentar