SEJARAH
PEMIKIRAN EKONOMI ISLAM AL SYAIBANI DAN ABU UBAID
Oleh : M. E.
Burhanudin, S.H. (2170110027)
PROGRAM PASCASARJANA UIN SUNAN GUNUNG DJATI BANDUNG
Abstract
This article
describes about the Islamic economic thinking according to Islamic economist Al
Syaibani and Abu Ubaid. In his discussion raised the thinking of two prominent
Islamic economist Al Syaibani who emphasized his thoughts on microeconomics and
embodied in his work namely Al-Kasb, and also Abu Ubaid's ideas which emphasize
his thoughts on macroeconomics by exploring in detail in his book that is
Al-Amwal discusses state rights and obligations. And concluded that the
thoughts of these two figures differed in view in response to economic
problems, but both have a common goal that is for the welfare of the ummah and
the main goal of the keridhoan Allah SWT.
Keywords:
History, Islamic Economics, Al-Kasb, Al-Amwal
Abstrak
Artikel ini
menjelaskan tentang pemikiran ekonomi Islam menurut tokoh ekonom Islam yaitu Al
Syaibani dan Abu Ubaid. Dalam pembahasannya mengemukakan tentang pemikiran dua
tokoh ekonom Islam yaitu Al Syaibani yang menitikberatkan pemikirannya terhadap
ekonomi mikro dan tertuang didalam karyanya yaitu kitab Al-Kasb, dan
juga pemikiran Abu Ubaid yang menekankan pemikirannya kepada ekonomi makro
dengan mengupas secara detail dalam kitabnya yaitu Al-Amwal yang
membahas tentang hak dan kewajiban negara. Dan menyimpulkan bahwa pemikiran
kedua tokoh ini berbeda pandangan dalam menanggapi permasalahan ekonomi, tetapi
keduanya mempunyai tujuan bersama yaitu untuk kesejahteraan ummat dan tujuan
utama yaitu keridhoan Allah SWT.
Kata Kunci :
Sejarah, Ekonomi Islam, Al-Kasb, Al-Amwal
PENDAHULUAN
Mempelajari
sejarah merupakan suatu keharusan bagi setiap orang yang ingin mengetahui
keberan yang terjadi di masa lampau. Apapun jenis sejarah tersebut baik
berkaitan dengan politik, budaya, ekonomi dan lainnya. Banyak hal-hal yang
tidak tersekspos secara baik saat seseorang tidak memahami sejarah yang ada
terutama bagi seorang pembelajar yang mendalami sebuah ilmu. Berkaitan dengan
ekonomi Islam, banyak hal-hal yang ada di masa Islam dahulu yang baru diketahui
dan dipahami oleh segelintir orang yang memang berfokus pada bidang tersebut.
Sebagai contoh setelah kita mempelajari Abu Yusuf kita pahami bahwa teori
perpajakan yang banyak dicetuskan oleh bangsa barat banyak mengambil intisari
dari apa yang dicetuskan oleh Abu Yusuf. Ini merupakan fakta penting terutama
bagi kita yang mempelajari ekonomi Islam untuk bisa memahamkan umat tentang
betapa gemilanganya ekonomi Islam di masa lalu dan urgensi kita mengetahui
semua sejarah yang berkaitan dengan ekonomi Islam.
Dalam jurnal
ini akan coba dipaparkan lagi tokoh sejarah ekonomi Islam yakni Asy Syaibani
dan Abu Ubaid. Dimana ternyata setelah dilihat dan diteliti ternyata Asy
Syaibani pencetus pertama sistem klasifikasi kerja. Ini tentu menjadi fakta
yang perlu untuk kita kaji secara lebih jauh ditambah dengan
pemikiran-pemikiran lainnya dari Asy Syaibani berkaitan dengan Al Kasb,
Kekayaan dan Kefakiran, Klasifikasi Usaha dan Kebutuhan Ekonomi dan pemikiran
Abu Ubaid yang tertuang dalam kitab al amwal
bahwa peranan negara dalam perekonomian yang mengulas tentang hak negara
atas rakyat dan hak rakyat atas negara, dimana analisis yang digunakan beliau
merujuk pada kaidah hadits-hadits yang berkaitan dengan pemerintahan. Hasil
implementasi dari analisis itu direalisasikan dalam kaidah kontrak kekayaan
bagi seluruh kaum muslimin yang diharapkan mampu menambah khazanah intelektual
kita berkaitan dengan sejarah ekonomi Islam.
PEMBAHASAN
A.
Biografi Al
Syaibani
Abu Abdillah
Muhammad bin Al-Hasan bin Farqad Al Syaibani lahir pada tahun 132 H (750 M) di
kota Wasith, ibukota Irak pada masa akhir pemerintahan Bani Umayyah. Ayahnya
berasal dari negeri Syaiban di wilayah Jazirah Arab. bersama orang tuanya, Al
Syaibani pindah ke kota Kufah yang ketika itu merupakan salah satu pusat
kegiatan ilmiah. Di kota tersebut ia belajar fiqh, sastra, bahasa, dan hadis
kepada para ulama setempat, seperti Mus’ar bin Kadam, Sufyan Tsauri, Umar bin
Dzar, dan Malik bin Maghul. Pada saat berusia 14 tahun berguru kepada Abu
Hanifah selama 4 tahun, yakni sampai Abu Hanifa meninggal dunia. Setelah itu,
ia berguru pada Abu Yusuf, salah seorang murid terkemuka dan pengganti Abu
Hanifah, hingga keduanya tercatat sebagai penyebar mazhab Hanafi.[1]
Dalam menuntut
ilmu, Al Syaibani banyak berinteraksi dengan berbagai ulama. Layaknya ulama
terdahulu, ia berkelana ke berbagai tempat, seperti Madinah, Makkah, Syiria,
Basrah dan Khurasan untuk belajar pada ulama besar, seperti Malik bin Anas,
Sufyan bin ‘Uyainah, dan Auza’i. Ia juga pernah bertemu dengan Al Syafi’i
ketika belajar Al Muwattha pada Malik bin Anas.[2]
Hal tersebut memberikan nuansa baru dalam pemikiran fiqihnya. Al Syaibani
menjadi lebih banyak mengetahui berbagai hadis yang luput dari pengetahuan Abu
Hanifah. Dari keluasan Pendidikannya ini, ia mampu mengombinasikan antara
aliran ahl al-ra’yi di Irak dan ahl al-hadits di Madinah.[3]
Setelah
memperoleh ilmu yang memadai, Al Syaibani kembali ke Baghdad yang pada saat itu
telah berada dalam kekuasaan Bani Abbasiyah. Di tempat ini, ia mempunyai
peranan penting dalam majelis ulama dan kerap didatangi para penuntut ilmu. Hal
tersebut makin mempermudahnya dalam mengembangkan mazhab Hanafi, apalagi
ditunjang kebijakan pemerintah saat itu yang menjadikan mazhab hanafi sebagai
mazhab negara. Berkat keluasan ilmunya tersebut, setelah Abu Yusuf meninggal
dunia, Khalifah Harun Al Rasyid mengangkatnya sebagai hakim di kota Riqqah,
Iraq. Namun, tugas ini hanya berlangsung singkat karena ia kemudian
mengundurkan diri untuk lebih berkonsentrasi pada pengajaran dan penulisan
fiqih. Al Syaibani meninggal dunia pada tahun 189 H (804 M) di kota al Ray,
dekat Teheran, dalam usia 58 tahun.[4]
Selama
hidupnya beliau dikenal sebagai ekonom muslim yang produktif. Dalam menuliskan
pokok-pokok pemikiran fiqihnya, Al Syaibani menggunakan istihsan sebagai
metode ijtihadnya. Hasil karyanya yang berupa kita diklasifikasikan menjadi dua
golongan, yaitu :
1.
Zharir al Riwayah, yaitu kitab
yang dituliskan berdasarkan pelajaran yang diberikan Abu Hanifah, seperti al
Mabsut, al Jami’ al Kabir, al Jami’ al Saghir, al Siyar al Kabir, al Siyar al
Saghir, dan al Ziyadat. Semua ini dihimpun Abi Al Fadl Muhammad ibn
Muhammad ibn Ahmad Al Maruzi dalam satu kitab berjudul Al Kafi.
2.
Al Nawadir, yaitu kitab
yang ditulis berdasarkan pandangannya sendiri, seperti Amali Muhammad fi al
Fiqh, al Ruqayyat, al Makharij fi al Hiyal, al Radd ‘ala Ahl Madinah, al
Ziyadah, al Atsar, dan al Kasb.[5]
B.
Biografi Abu
Ubaid
Abu Ubaid bernama Lengkap Al-Qasim bin Sallam bin Miskin bin Zaid
Al-Harawi Al-Azadi Al-Baghdadi. Beliau terlahir dikota Hirrah Khurasan sebelah
barat laut Afganistan pada tahun 150 H dari ayah keturunan Byzantium, maula
dari suku Azad. Abu Ubaid hidup pada masa Daulah Abasiyah mulai dari khalifah Al
mahdi, Beliau merupakan seorang ulama yang cerdas dan pintar sehingga banyak
ulama yang memujinya.
Pada tahun 192 H, Tsabit ibn Nashir ibn Malik, Gubernur Thugur di
masa pemerintahan Khalifah Harun Ar Rasyid, mengangkat Abu Ubaid sebagai qadh’i
(hakim) di Tarsus hingga tahun 210 H. Setelah itu, penulis al-Amwal ini tinggal
di Baghdad selama 10 tahun. Pada tahun 219 H, setelah berhaji ia tinggal di
Mekkah sampai wafat, ia meninggal pada tahun 224 H.[6]
Menurut Ibnu Rohubah “ kita memerlukan seseorang seperti Abu Ubaid
tetapi Abu Ubaid tidak memerlukan kita”. Sedangkan menurut Ahmad bin Hambal,
Abu Ubaid adalah orang yang bertambah kebaikannya setiap harinya.
Abu ubaid
menyusun suatu ikhtisar tentang keuangan publik yang bisa dibandingkan dengan
kitab Al-kharaj Abu Yusuf. Karyanya kitab Al-amwal sangat kaya dengan sejarah
materi ilmu hukum. Para penulis ekonomi Islam banyak mengutip buku ini. Bahkan
telah diterjemahkan kedalam bahasa Urdu tanpa ada pengantar ataupun analisis
terhadap isinya.[7]
Bagi Abu Ubaid satu hari mengarang itu lebih utama baginya dari
pada memukulkan pedang di jalan Allah. Kitab Al-Amwal dari Abu Ubaid merupakan
suatu karya yang lengkap tentang tentang keuangan negara Islam. Kitab al amwal
ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari separuh pertama abad kedua
Islam. buku ini juga merupakan ringkasan tradisi asli dari Nabi saw dan laporan
para sahabat dan pengikutnya tentang masalah ekonomi.
Pemikiran
Ekonomi Asy Syaibani dan Abu Ubaid
A.
Pemikiran
Ekonomi Asy Syaibani
Asy Syaibani
merupakan salah seorang tokoh ekonomi islam yang punya dampak yang cukup besar
terhadap perkembangan ekonomi Islam. Bahkan Dr. Al Janidal menyatakan bahwa Al
Syaibani merupakan salah seorang perintis ilmu ekonomi dalam Islam.[8]
Sebagai buktinya dapat kita lihat dari pemikiran-pemikiran ekonomi yang beliau
cetuskan yakni :
1.
Al Kasb (Kerja)
Al Syaibani mendefinisikan al kasb (kerja)
sebagai cara memcari perolehan harta melalui berbagai cara yang halal.[9]
Dalam ilmu ekonomi, aktivitas tersebut dikenal sebagai aktivitas produksi. Dari
definisi yang ada pada awal paragraf terlihat bahwa ada perbedaan yang sangat
mendasar antara ekonomi Islam dan ekonomi konvensional. Dimana pada
konvensional segala aspek produksi baik itu yang halal maupun yang haram
dibolehkan, sedangkan dalam ekonomi islam aspek produksi hanya berkutat pada
yang halal saja. Ini merupakan perbedaan yang sangat fundamental sekali karena
ekonomi islam sangat menjunjung aspek kehalalan dari semua segi baik itu
sumber, cara maupun hasilnya.
Produksi suatu barang dalam ilmu ekonomi
dilakukan karena ia mempunyai utilitas (nilai guna). Dalam ekonomi islam nilai
guna tersebut diukur dari kemaslahatannya.[10]
Seperti yang diungkapkan oleh Asy Syatibi, bahwa kemaslahatan hanya bisa dicapai
dengan memlihara lima unsur pokok kehidupan, yaitu agama, jiwa, akal,
keturunan, dan harta.[11]
Hal inilah yang mendasari perbedaan produsen antara ekonomi Islam dan
konvensional. Dimana dalam ekonomi islam tujuan produsen tersebut adalah maqasid
syariah yaitu memelihara kemaslahatan manusia baik dunia maupun akhirat.
Berbeda dengan konvensional yang beorientasi pada tujuan dunia semata dimana
setiap produksi bisa dilakukan jika ada orang yang yang menginginkan hasil
produksi tesebut tanpa melihat efek maslahatnya secara keseluruhan.[12]
Juga, dalam pandangan Islam aktivitas
merupakan kewajiban ‘imaratul kaun, yakni menciptakan kemakmuran semesta
untuk semua mahluk. Berkenaan dengan hal tersebut, Al Syaibani menegaskan bahwa
bahwa kerja merupakan unsur penting dalam kehidupan karena menunjang
pelaksanaan ibadah dan karena hal tersebut maka hukum bekerja adalah wajib.[13]
Hal ini didasari pada dalil sebagai berikut :[14]
a.
Firman Allah Swt.
Apabila telah ditunaikan shalat, maka
bertebaranlah kamu di muka bumi dan carilah karunia Allah dan ingatlah Allah
banyak-banyak supaya kamu beruntung. (Al-Jumu’ah :10 )
b.
Hadis Rasulullah Saw.
”Mencari pendapatan adalah wajib bagi setiap
Muslim.”
c.
Ijtihad Amirul Mukminin Umar ibn
Khattab yang mengutamakan derajat kerja daripada jihad. Sayyidina Umar
menyatakan, dirinya lebih menyukai meninggal pada saat berusaha mencari
sebagian karunia Allah Swt. dimuka bumi daripada terbunuh di medan perang,
karena Allah Swt. mendahulukan orang-orang yang mencari sebagian karunia-Nya
daripada mujahidin melalui firman-Nya :
d.
....Dan orang-orang yang berjalan
di muka bumi mencari sebagian karunia Allah dan orang-orang yang lain lagi yang
berperang di jalan Allah.. (Al Muzammil : 20)
Berkenaan
dengan hal tersebut, Al Syaibani menyatakan bahwa sesuatu yang dapat menunjang
terlaksananya yang wajib maka hukumnya menjadi wajib hukumnya. Lebih jauh, ia
menguraikan bahwa untuk menunaikan berbagai kewajiban, seseorang memerlukan
kekuatan jasmani dan kekuatan jasmani itu sendiri merupakan hasil dari konsumsi
makanan yang diperoleh dari kerja keras. Dengan demikian, kerja mempunyai
peranan yang sangat penting dalam menunaikan suatu kewajiban dan karena hal
tersebut maka hukum bekerja adalah wajib seperti kewajiban thaharah ketika akan
melaksanakan sholat.[15]
Disamping itu, Al Syaibani juga menyatakan bahwa bekerja merupakan ajaran para
rasul terdahulu dan kaum muslimin diperintahkan untuk meneladani mereka.
Dari uraian
tersebut, jelas bahwa orientasi bekerja dalam pandangan Al Syaibani adalah
hidup untuk mencari ridho Allah Swt. Di sisi lain, kerja merupakan usaha untuk
mengaktifkan roda perekonomian, termasuk proses produksi, konsumsi dan
distribusi, yang berimplikasi secara makro meningkatkan pertumbuhan ekonomi suatu
negara. Dengan demikian, kerja mempunyai peranan yang sangat penting dalam
memenuhi hak Allah Swt., hak hidup, hak keluarga, dan hak masyarakat.
2.
Kekayaan dan Kefakiran
Menurut Al Syaibani, sekalipun banyak dalil
yang menunjukkan keutamaan sifat-sifat kaya, sifat-sifat fakir mempunyai
kedudukan yang lebih tinggi. Ia menyatakan bahwa bahwa apabila manusia telah
merasa cukup dari apa yang dibutuhkan kemudian bergegas pada kebajikan,
sehingga mencurahkan perhatian pada urusan akhiratnya, adalah lebih baik bagi
mereka.[16]
Dalam konteks ini, sifat-sifat fakir diartikannya sebagai kondisi cukup (kifayah),
bukan kondisi papa dan meminta-minta (kafafah).[17]
Dengan demikian, pada dasarnya Al Syaibani menyerukan agar manusia hidup dalam
kecukupan, baik untuk dirinya sendiri maupun keluarganya. Di sisi lain, ia
berpendapat bahwa sifat-sifat kaya berpotensi membawa pemiliknya pada
kemewahan.[18]
Sekalipun begitu, ia tidak menentang gaya hidup yang lebih dari cukup asalkan
kelebihan tersebut digunakan untuk kebaikan.[19]
3.
Klasifikasi Usaha-Usaha
Perekonomian
Menurut Al Syaibani, usaha-usaha perekonomian
terbagi atas empat macam, yaitu sewa menyewa, perdagangan, pertanian, dan
perindustrian.[20]
Sedangkan para ekonom kontemporer membagi menjadi tiga bagian, yaitu pertanian,
perindustrian, dan jasa. Jika ditelaah lebih dalam maka usaha juga meliputi
kedalam perdagangan. Di antara keempat usaha perekonomian tersebut, Al Syaibani
lebih mengutamakan usaha pertanian dibandingkan dengan usaha lainnya.
Menurutnya, usaha pertanian memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia dalam
rangka pemenuhan berbagai kewajibannya.[21]
Dari segi hukum, Al Syaibani membagi usaha
perekonomian menjadi dua, yaitu fardu kifayah dan fardu ‘ain.
Berbagai usaha perekonomian dihukumi fardu kifayah apabila telah ada
orang-orang yang menjalankan aktivitas perekonomian sebagai dampaknya maka
berjalanlah roda perekonomian atau berkaitan dengan usaha bersama. Hanya
apabila terdapat individu yang tidak menjalankan fungsinya dalam usaha tersebut
maka bisa berdampak buruk pada berlangsungnya aktivitas usaha tersebut sehingga
memberikan dampak buruk pada individu-individu yang ada didalamnya.[22]
Sedangkan suatu usaha dikukum fardu ‘ain berkaitan dengan kebutuhan individu.
Disini setiap orang wajib memenuhi kebutuhan hidupnya, apakah itu untuknya,
istrinya maupun keluarganya. Hal ini tidak bisa terlaksana, jika individu tidak
menjalankan usahanya sendiri yang nantinya berakibat pada kebinasaan diri dan
keluarganya.
4.
Kebutuhan-Kebutuhan Ekonomi
Al Syaibani mengatakan bahwa sesungguhnya
Allah menciptakan anak-anak Adam sebagai suatu ciptaan yang tubuhnya tidak akan
berdiri kecuali dalam empat perkara, yaitu makan, minum, pakaian, dan tempat
tinggal.[23]
Para ekonom yang lain mengatakan bahwa keempat hal ini adalah tema ilmu
ekonomi. Jika keempat hal tersebut tidak pernah diusahakan untuk dipenuhi,
manusia akan mengalami kesengsaraan karena manusia tak akan dapat hidup tanpa
keempat hal tersebut.[24]
5.
Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan
Al Syaibani menyatakan bahwa manusia dalam
hidupnya selalu membutuhkan yang lain. Seseorang tidak akan menguasai
pengetahuan semua hal yang dibutuhkan sepanjang hidupnya dan kalaupun manusia
berusaha keras, usia akan membatasi dirinya. Dalam hal ini, kemaslahatan hidup
manusia sangat tergantung pada dirinya. Oleh karena itu, Allah memberi
kemudahan pada setiap orang untuk menguasai pengetahuan mengenai salah satu
diantara kebutuhan tersebut, sehingga manusia sapat bekerja sama dalam memenuhi
kebutuhan hidupnya.[25]
Firman Allah :
..Dan Kami telah meninggikan sebagian mereka
atas sebagian yang lain beberapa derajat... (Surat Az Zukhruf : 32)
Lebih lanjut, Al Syaibani menandaskan bahwa
seorang yang fakir membutuhkan orang kaya sedangkan yang kaya membutuhkan
tenaga yang miskin. Dari hasil tolong-menolong tersebut, manusia akan semakin
mudah dalam menjalankan aktibitas ibadah kepada-Nya.[26]
Dalam konteks ini Allah berfirman :
..Dan saling menolonglah kamu sekalian dalam
kebaikan dan ketakwaan.. (Al Maidah : 2)
Juga Rasulullah bersabda, “Sesungguhnya
Allah swt. selalu menolong hamba-Nya selama hamba-Nya tersebut menolong saudara
Muslimnya. (HR. Bukhari-Muslim)
Lebih jauh, Al Syaibani mengatakn bahwa
apabila seseorang bekerja dengan niat melaksanakan ketaatan kepada-Nya atau
membantu saudaranya untuk melaksanakan ibadah kepadaNya, pekerjaan tersebut
dibalas sesuai dengan niatnya.[27]
Dengan demikian distribus pekerjaan seperti pekerjaan diatas merupakan objek
ekonomi yang mempunyai dua aspek sekaligus, yakni aspek religius dan aspek
ekonomis.
B.
Pandangan Abu
Ubaid Tentang Ekonomi Islam
Jika isi buku al amwal Abu Ubaid dievaluasi dari sisi filsafat hukum maka
akan tampak bahwa Abu Ubaid menekankan keadilan sebagai prinsip utama. Baginya,
tujuan dari prinsip ini akan membawa kepada kesejahteraan ekonomi dan
keselarasan sosial. Pada dasarnya ia memiliki pendekatan yang berimbang kepada
hak-hak individual, publik dan negara, jika kepentingan individual berbenturan
dengan kepentingan publik maka ia akan berpihak pada kepentingan publik.
Tulisan-tulisan Abu Ubaid lahir pada masa Abasiyah sehingga banyak
pemikirannya menekankan pada kebijakan pemerintah untuk membuat suatu
keputusan. Khalifah diberikan kebebasan dalam memilih diantara pandangan Abu
Ubaid, yang terpenting berdasarkan Al-Qur’an dan Hadis serta untuk kepentingan
umum. Contoh, Abu Ubaid berpendapat bahwa zakat dari tabungan dapat diberikan
pada negara ataupun penerimanya sendiri. Sedangkan zakat komoditas harus
diberikan kepada pemerintah, jika tidak maka kewajiban agama diasumsikan tidak
ditunaikan. Abu Ubaid juga mengakui otoritas pemerintah dalam memutuskan,
apakah akan membagikan kepada penakluk ataupun membiarkan kepemilikannya kepada
penduduk setempat. Abu Ubaid juga menegaskan bahwa kas negara tidak boleh
disalahgunakan untuk kepentingan pemimpin.
Berkaitan dengan pajak tanah dan poll-tax, ia menyinggung tentang
pentingnya keseimbangan antara kekuatan finansial penduduk non-muslim yang
dalam bahasa modern disebut capacity to pay dan juga memperhatikan
kepentingan para penerimanya yaitu golongan muslim. Dengan demikian Abu Ubaid
berusaha menghentikan diskriminasi (penindasan) dalam perpajakan.
Pembahasan mengenai dikotomi dilakukan Abu Ubaid ketika menyoroti alokasi
pendapatan fai’. Berbeda dengan kaum Badui, kaum Urban (perkotaan) :
1.
ikut serta
dalam keberlangsungan negara dengan berbagai kewajiban administrasi dari semua
muslim.
2.
Memelihara
dan memperkuat pertahanan sipil melalui mibilisasi jiwa dan harta mereka.
3.
Menggalakkan
pendidikan dan pengajaran melalui pembelajaran dan pengajaran Al-Qur’an dan
Al-Sunnah, serta penyebaran keunggulannya(keunggulan kualitas isinya).
4.
Melakukan
kontribusi terhadap keselarasan sosial melalui pembelajaran dan penerapan
Hudud.
5.
Memberikan
contoh universalisme islam dengan sholat berjamaah pada waktu jum’at.
Dari keterangan di atas dapat diketahui bahwa Abu Ubaid mengembangkan suatu
negara dengan sistem administrasi yang baik. Diantara administrasi tersebut
ialah:
a) Pertahanan
b) Pendidikan
c) Hukum
Semua kaum mendapatkan alokasi dari fai’ tersebut, sedangkan kaum
badui biasanya tidak ikut serta melaksanakan kewajiban publik seperti
sebagaimana kewajiban kaum urban.
Sehingga kaum badui tidak menerima manfaat pendapatan fai’ seperti kaum
Urban. Kaum Badui hanya dapat mengklaim sementara terhadap pendapatan fai’ yang
hanya saat terjadi kondisi krisis seperti saat terjadi invasi atau penyerangan
musuh, kekeringan yang dahsyat, dan kerusuhan sipil.
3. Kepemilikan dalam konteks kebijakan
Perbaikan Pertanian
Abu Ubaid mengakui adanya kepemilikan pribadi dan kepemilikan publik. Sesuatu
yang baru dalam hubungan antara kepemilikan dengan kebijakan perbaikan
pertanian ditemukan oleh Abu Ubaid: yaitu berupa kebijakan pemerintah, seperti Iqta’
tanah gurun dan deklarasi resmi terhadap kepemilikan individu atas tanah
tandus yang disuburkan. Maka tanah tersebut diberikan dengan persyaratan diolah
dan dibebaskan dari membayar pajak, tetapi jika tanah tersebut di biarkan
menganggur selama 3 tahun berturut-turut, maka akan di denda dan dialihkan
kepemilikan atas nama tanah tersebut. Tanah gurun yang termasuk dalam hima juga
akan di reklamasikan jika tidak ditanami selama 3 tahun dapat ditempati orang
lain. Menurut Abu Ubaid sumber dari publik seperti Air, Padang rumput
Pengembalaan, dan Tambang minyak tidak boleh di monopoli seperti pada Hima. Semua
sumber daya tersebut dikelola untuk negara dan mensejahterakan masyarakat.[30]
4.
Pertimbangan kebutuhan
Pertimbangan kebutuhan yang di maksud adalah Abu Ubaid sangat tidak setuju
ketika pembagian zakat dibagikan merata kepada 8 kelompok penerima zakat.
Karena masing-masing di antara 8 penerima zakat mempunyai kebutuhan yang
berbeda, sehingga zakat tidak harus sama bagiannya.
Abu Ubaid tidak memberikan hak zakat kepada orang-orang yang memiliki 40
dirham atau harta lainnya yang setara, dan di sisi lain orang yang memiliki 200
dirham wajib mengeluarkan zakat. Dari keterangan di atas, Abu Ubaid meng
identifikasikan ada tiga kelompok sosio-ekonomi yang berkaitan dengan status
zakat yaitu:
Ø
Kalangan orang kaya yang terkena wajib zakat.
Ø
Kalangan menengah yang tidak terkena wajib zakat, tetapi juga tidak berhak
menerima zakat.
Ø
Kalangan penerima zakat.
Cara mendistribusikan zakat kepada kalangan penerima zakat, Abu Ubaid
mengumpulkan zakat tersebut kepada petugas pengumpul zakat (amil) dan memberikan
zakat sesuai hak-nya. [31]
5.
Peran negara
dalam perekonomian
Pemikiran Abu Ubaid yang tertuang dalam kitab al amwal adalah peranan negara dalam perekonomian yang
mengulas tentang hak negara atas rakyat dan hak rakyat atas negara, dimana
analisis yang digunakan beliau merujuk pada kaidah hadits-hadits yang berkaitan
dengan pemerintahan. Hasil implementasi dari analisis itu direalisasikan dalam
kaidah kontrak kekayaan bagi seluruh kaum muslimin. Unsur-unsur kontrak itu
meliputi:
1.
Azas pengelolahan harta didasarkan
atas ketaqwaan kepada Allah swt
2.
Keberadaan kekayaan pada komunitas
kaum muslimin merupakan tanggung jawab seluruhnya, dan kepala negara berhak
menggunakannya demi kepentingan seluruh kaum muslimin.
3.
Setiap perbuatan dihadapkan pada
tanggungjawab, pemerintah harus menjaga keamanan, meningkatkan kesejahteraan,
melindungi hak-hak rakyat, mengatur kekayaan publik, dan menjamin
terpeliharanya maqasid syariah.
Abu Ubaid menjadikan keadilan sebagai prinsip dasar (basic
princivil) dalam misi kekhalifahan. Diriwayatkan dari Imam Ali ra “keadilan
adalah suatu hak dan pemerintah wajib menegakan hukum sesuai dengan Allah
syariatkan dan menjalankan amanat, ketika pemerintah melakukan hal tersebut
wajib bagi rakyat mendengar, menaati, memenuhi panggilan negara dan pemerintah”
Khalifah dan pemerintah menempatkan hukum dan berdasarkan Al-Qur’an
dan menyayangi rakyatnya sebagaimana lelaki menyayangi keluarganya. Peran
negara begitu besar dalam perekonomian karena tugas negara adalah menegakan
kehidupan sosial berdasarkan nila-nilai keadilan yang disyariatkan , seperti
penerapan zakat dapat mengikis kesenjangan sosial dan menumbuhkan kepedulian
sosial. Dan dengan mengatur administrasi keuangan negara seefektif mungkin
sehingga penyediaan kebutuhan pokok, fasilitas umum, distribusi pendapatan
dapat menjamin kemaslahatan umat
sehingga terselenggara kegiatan ekonomi yang berkeadilan. Dimana sasaran
beliau adalah legitimasi dari sosio-politik ekonomi yang stabil dan adil. [32]
6.
Sumber
Penerimaan Keuangan Publik
Kitab Al-Amwal Abu Ubaid secara khusus memusatkan perhatian sekitar
keuangan publik (public finance), analisis yang beliau titik beratkan adalah
pada praktek yang dilakukan Rasulullah, Khulafaurrasyidin, terutama Umar bin
Khattab dan Umar bin Abdul Azis sebagai contoh ideal dalam pengelolaan keuangan
publik. Institusi yang mengelola disebut Baitul Mal.
Baitul Mal terbentuk setelah perang badar menurut pendapat yang
diunggulkan (qaul Rajih), karena waktu kaum muslim mendapatkan harta rampasan
perang (ghanimah) yang banyak, dan pada waktu tempat penyimpanan kekayaan
negara seperti ghanimah, shadaqoh, dan fa’I adalah masjid.
Kedua, adalah harta shafi yang Rasulullah saw dipilih dari ghanimah yang
diperoleh kaum muslimin sebelum harta itu dibagikan. Sebagaimana riwayat Ibnu
Abbas dari Rasulullah saw “ Berikanlah dari harta ghanimah bagian Rasulullah
dan shafi”.
Ketiga, adalah harta
1/5 dari ghanimah yang telah dibagi.
Namun perlu diketahui bahwa sebagaimana menurut takwil Umar bin
Khattab ada tiga harta yang masuk dalam keuangan publik yaitu: shodaqoh, fa’i,
dan khumus. Tetapi menurut Abu Ubaid harta yang masuk dalam keuangan publik,
yaitu sebagai berikut:[33]
1.
Shodaqoh/Zakat
Dalam hal ini, shodaqoh wajib atau yang
disebut zakat harta seperti zakat emas, perniagaan, unta, sapi, kambing,
biji-bijian dan buah-buahan. Dimana dari zakat harta ini dialokasikan untuk delapan
golongan yang Allah sebutkan dalam Al-Qur’an, tidak seorang pun berhak atas
zakat tersebut kecuali mereka dan merupakan kewajiban pada setiap harta apabila
telah mencapai nisab dan haul untuk dikeluarkan zakatnya.
Namun
yang perlu diketahui, Abu Ubaid mengungkapkan ketentuan yang disepakati (tidak
ada ikhtilaf), yaitu apabila sesorang memiliki harta yang wajib dizakati
diantaranya 200 dirham, 20 dinar, 5 ekor unta, 30 ekor sapi, atau 40 ekor
kambing. konsekuensinya, bila seseorang memiliki salah satu diatas dari awal
haul sampai akhir, maka wajib mengeluarkan zakatnya yang dinamakan nishab oleh
Imam Malik dan penduduk madinah sedangkan penduduk Iraq menyebutnya asal harta.
2.
Fa’i
Fa’i menurut bahasa adalah ar’rujuu berarti
kembali, sedangkan menurut istilah fiqh adalah sesuatu yang diambil dari harta
ahli kitab dengan cara damai tanpa peperangan atau setelah peperangan itu
berakhir, disebut fa’i karena Allah mengembalikan harta tersebut kepada kaum
muslimin .
Menurut versi Abu Ubaid adalah sesuatu yang
diambil dari harta dzimmah perdamaian atas jizyah dari mereka, yang sebab itu
jiwa mereka dilindungi dan dihormati. Harta fa’i digunakan untuk kepentingan
pemerintah dan kesejahteraan umat. Bagian-bagian dari fa’i adalah;
a.
Kharaj
Kharaj menurut bahasa ghullah yaitu
penghasilan atau tanah taklukan kaum muslimin dengan jalan damai yang
pemiliknya menawarkan untuk mengelola tanah itu sebagai pengganti sewa tanah
dan bersedia memberikan sebagian dari hasil produksinya. Jumlah khurujnya
setengah dari hasil produksi.
b.
Jizyah[34]
Jizyah berasal dari kata jaza yang berarti
imbalan atau kompensasi. Jizyah adalah pajak tahunan yang wajib dibayarkan oleh
non muslim khususnya ahli kitab untuk jaminan perlindungan jiwa, properti,
ibadah, dan harta atau budak yang tinggal diwilayah pemerintah Islam.
orang-orang non muslim disebut kafir dzimmi atau orang-orang yang dilindungi.
Pajak ini juga disebut upeti atau poll-tax.
Pada masa Rasulullah saw, ketika memerintahkan
kepada Muadz ibn Jabal atas ahli kitab di Yaman besarnya jizyah bagi
masing-masing individu:
-
1 dinar atau
-
30 ekor sapi ( umur 1 tahun)
-
40 ekor sapi, jizyahnya 1 ekor
musinah
-
Penghasilan dari tanah 1/10 bila
diairi dengan hujan dan 1/5 bila menggunakan biaya.
Jizyah dipungut berdasarkan ketetapan Al-qur’an, Qs. At-Taubah:29
yang memerintahkan kaum mukminin: “perangilah orang-orang yang tidak beriman
kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak
mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama
dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan
Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang
mereka dalam Keadaan tunduk.”
c.
Khumus
Khumus menurut Abu Ubaid adalah 1/5 ghanimah dari ahli harbi, rikaz
dan luqatah. Dalam pembahasan khumus Abu Ubaid menyebutkan bahwa harta yang
terkena khumus yaitu sebagai berikut.[35] Pertama
beliau menafsirkan itu ghanimah sesuai firman Allah dalam Qs. Al-Anfal:41. Kedua,
khumus yang diperoleh dari harta penambangan ataupun mineral dari harta yang
terpendam/rikaz dan dipungut oleh negara Islam sebesar 20%. Ketiga,
khumus pada harta yang dipendam, sebagaimana terjadi ketika mujahid dari
asy’sya’abi dimana seorang lelaki menemukan 1000 dinar yang dipendam diluar kota kemudian datang kepada Umar dan
Umar mengambil 1/5 dari harta sebesar 200 dinar dan sisanya diberikan kepada
orang yang menemukan. Kemudian 200 dinar itu dibagikan kepada kaum muslim. Keempat,
khums juga ditarik atas apa yang diambil dari laut seperti mutiara, ambergris
dan lainnya. Dilaporkan bahwa Khalifah Umar menarik khums dari mutiara dan
menunjuk Yaali bin Ummayah sebagai pemungutnya.
Namun, perlu diketahui bahwa Abu Ubaid menyatakan bahwa ada tiga
hukum yang dilakukan Umar pada harta benda yang dipendam. Pertama, harta itu
diambil khumusnya dan sisanya diberikan kepada yang menemukan. Kedua, yang
menemukan tidak diberikan harta itu, namun diserahkan sepenuhnya ke Baitul mal.
Ketiga, harta itu diberikan sepenuhnya kepada yang menemukan dan tidak
diserahkan ke Baitul mal.
d.
Al ‘usyr
Al-‘usyr merupakan jam’ dari kata ‘usyrun yaitu satu bagian dari
sepuluh. Sedangkan menurut fuqaha terdapat dua pengertian, pertama ‘usyr zakat
yaitu sesuatu yang diambil dari zakat tanaman dan buah-buahan (Qs.
Al-An’am:141). Kedua, ‘usyr adalah sesuatu yang diambil dari harta kafir dzimmi
yang melintas untuk perniagaan. Istilah usyr tidak dijumpai dalam Al-qur’an,
tetapi dua ayat (Qs. Al-baqarah:276 dan Al-An’am:141) dipakai untuk merujuk
padanya dan berdasarkan kedua ayat itulah usyr dipungut.[36]
7.
Pembelanjaan
Penerimaan Keuangan Publik
Dalam masalah distribusi pendapatan memang erat kaitanya antara
penerimaan dan pembelanjaan/pengalokasian untuk kepentingan publik.
Abu Ubaid mengkhususkan sendiri mengenai persamaan manusia dalam
kekayaan publik. Mengenai hal ini, diantaranya adalah komentar Abu Bakar ra,
ketika datang padanya harta (fa’i/ghanimah), ia menjadikan (bagian) manusia
sama, dan berkata “ aku menginginkan terhindar dari meminta-minta dan
memurnikan perjuangan (jihad)ku bersama Rasulullah saw, kelebihan mereka adalah
disisi Allah, adapun dalam kehidupan ini persamaan adlah hal yang baik.”
Dalam pendistribusian pengeluaran dari penerimaan khumus (khumus
ghanimah, khumus barang tambang dan rikaz serta khumus lainnya) adalah
ketentuan dari Rasulullah. Karena dana-dana publik merupakan kekayaan publik
maka dialokasikan untuk kesejahteraan publik, seperti kesejahteraan anak-anak,
korban bencana, santunan dan lainnya. [37]
8.
Hukum Pertanahan
Pemikiran Abu Ubaid mengenai hubungan antar rakyat dan negara demi
stabilitas kesejahteraan rakyat dan negara selain masalah administrasi keuangan
publik yang terdapat dalam kitab al amwal, beliau berbicara mengenai hukum
pertahanan.
Para fuqaha membagi tanah yang berada dalam wilayah negara islam
menjadi tanah ‘usyr dan kharaj. Dan Abu Uabid menyebutkan hukum pembagian tanah
‘usyr yang bukan kharaj ada 4 macam: pertama, setiap tanah yang
diserahkan oleh pemiliknya kepada negara, seperti tanah madinah, mekkah, thaif
dan Yaman. Kedua, setiap tanah yang diambil kemudian negara tidak
melihat menjadikannya fa’i, akan tetapi menjadikannya ghanimah yang dibagi
empat dari 1/5 yang diambil diantara mereka yang turut menaklukan khususnya
seperti yang telah dilakukan Rasulullah terhadap tanah khaibar. Ketiga,
tanah biasa yang tidak diurusi dan dianggap, kemudian oleh kepala negara
dipetakan kepada seseorang dijazirah arab atau daerah lainnya, seperti yang
dilakukan Rasulullah dan Khulafaurrasyidin yang meng-iqtha tanah Yaman,
Yamamah, Basrah. Keempat, setiap tanah yang mati dan dihidupkan oleh
seorang muslim dengan mengairi dan menanaminya. Berikut ini adalah hukum-hukum
pertahanan yang dikemukakan oleh Abu Ubaid; [38]
a.
Iqtha
Iqtha ialah tanah yang diberikan oleh kepala
negara kepada seorang rakyatnya untuk menguasai sebidang tanah dengan
mengabaikan yang lainnya.
Dalam kitab Al-amwal, Abu Ubaid menafsirkan
tanah bisa dijadikan iqtha dan yang tidak bisa. Dan biasanya setiap daerah atau
tanah yang dihuni pada masa yang lama, kemudian ditinggalkan penghuninya maka
keputusan hukum tanah itu diserahkan kepada kepala negara.
Kepala negara, begitu juga setiap tanah yang
mati (tidak digarap) tidak ada seseorang yang mengelolanya dan tidak dimiliki
oleh orang Islam atuapun orang kafir. Umar ra. Mengirim surat kepada Abu Musa “
jika tanah itu bukan tanah jizyah dan bukan tanah yang dialiri air jizyah, maka
aku akan meng-iqtha tanah itu baginya.”
Sementara kasus lain bahwa Rasulullah meng-iqthakan
tanah kepada zubair yang ada pohon kurma dan pepohonan. Kami melihat tanah itu
pernah Rasulullah meng-iqthakan kepada kaum Anshar untuk mengelola dan
mendiaminya. Kemudian tanah itu ditinggalkan, maka Rasulullah meng-iqthakan
kepada Zubair.
Jadi,mengenai meng-iqtha hendaknya pemerintah
menurut Abu Ubaid tidak meng-iqtha tanah kharaj, karena tanah kharaj adalah
tanah yang produktif memberikan hasil
dan dapat menambah devisa negara. Disisi lain, dengan memetakan tanah kharaj
dapat memberi manfaat untuk para pengembala hewan ternak, dimana hal ini dapat
menambah pertambahan produksi hewan yang sama pentingnya dengan masalah
pertanian.
b.
Ihya al mawat
Al Mawat
adalah tanah yang mati, tandus tidak terurus, tidak ada pemiliknya dan tidak
dimanfaatkan. Sedangkan maksud ihya al Mawat adalah membuka kembali lahan yang
mati itu dengan membersihkannya, mengairi, mendirikan bangunan, dan menanamkan
kembali benih-benih kehidupan pada lahan tersebut. Dalam hal ini negara berhak
menguasai tanah yang mati dengan menjadikannya milik umum yang semua manfaatnya
diserahkan kepada kemaslahatan umat.
Mengenai ihya al Mawat, Abu Ubaid membagi menjadi tiga bagian:
1.
Seseorang datang ketanah tersebut
lalu mengelola dan mendiaminya kemudian datang orang lain yang memperbaharui
tanaman dan bangunan agar menjadi haknya tanah yang dikelola oleh orang
sebelumnya. Dalam hal ini perbuatan orang tiu disebut al-irrqi al-Zhalim;
perbuatan atas sesuatu yang bukan haknya dan ingin memiliknya. Adapun yang
berhak atas tanah itu adalah orang yang pertama, seperti hadits riwayat Abu
Hisyam, Rasulullah saw bersabda “ siapa saja yang menghidupkan tanah mati maka
tanah itu jadi miliknya dan tidak ada hak bagi irqi zalim.”
2.
Kepala negara meng-iqthakan kepada
seseorang tanah mati, dan tanah itu
menjadi milik penerima iqtha, kemudian orang itu menyia-nyiakan dengan tidak
mengelola dan tidak mendiaminya, sehingga datang orang lain lalu mengelola dan
mendiami serta menyangka tanah ini tidak ada yang mengurus. Dalam hal ini,
pendapat Au Ubaid merujuk pada yang dilakukan Umar ra, terhadap orang yang
tidak memperoleh iqtha’ pada masa Rasulullah. Kemudian ditelantarkan sampai
pada masa Umar ra dan tanah itu digarap oleh orang lain, dengan berkata “kalau
bukan iqtha’ adri Rasulullah aku tidak akan memberimu sedikitpun”
3.
Jika seseorang membangun tembok
tanah apakah dengan iqtha’ dari pemerintah atau tidak kemudian meninggalkanya
pada waktu yang lama dengan tidak mendiaminya. Abu Ubaid berkata “pada sebagian
hadits dari Umar, bahwa ia memberi batas tiga tahun dan melarang orang lain
mendiami tempat tersebut”.
Selanjutnya, menurut Abu Ubaid bila tanah produk ihya’ al mawat ini
menghasilkan sesuatu dengan mengairi dan menanaminya, maka dikenakan zakat 1/10
untuk 8 mustahiq zakat.
c.
Hima
Dalam hal ini yang dinamakan hima adalah
perlindungan, menurut Abu Ubaid adalah tempat dari tanah yang tidak berpenduduk
yang dilindungi oleh kepala negara untuk tempat mengmbala hewan-hewan ternak.
Dimana tanah hima ini adalah tanah yang
mendapat perlindungan dari pemerintah, namun dapat dimanfaatkan oleh seluruh
umat, seperti air, rumput, tanaman, hal ini sesuai dengann sabda Rasulullah
saw, “ orang muslim adalah saudara bagi muslim yang lainnya, yang memberi
mereka keleluasaan air dan rumput”.
9.
Fungsi uang
Menurut Abu Ubaid terdapat dua fungsi uang yang tidak mempunyai
nilai intrinsik sebagai standar dari nilai pertukaran dan sebagai media
pertukaran. Dalam hal ini ia menyatakan ;
“ Adalah hal yang tidak diragukan lagi bahwa emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya
menjadi harga dari barang dan jasa. Keuntungan yang paling tinggi yang dapat
diperoleh dari kedua barang ini adalah penggunaanya untuk membeli sesuatu”.
Pernyataan Abu Ubaid tersebut menunjukan bahwa ia mendukung teori
konvesional mengenai uang logam. Walaupun sama sekali tidak menjelaskan mengapa
emas dan perak tidak layak untuk apapun kecuali keduanya menjadi harga dari
barang dan jasa. Tampaknya, Abu Ubaid merujuk pada kegunaan umum dan relatif
konstannya nilai dari kedua benda tersebut dibandingkan dengan komoditas
lainnya. Disamping itu, Abu Ubaid secara implisit mengakui adanya fungsi uang
sebagai penyimpanan nilai ketika membahas jumlah tabungan minimum tahunan yang
wajib terkena zakat. [39]
Salah satu ciri khas kitab al Amwal diantara kitab-kitab lain yang
membahas tentang keuangan publik (public finance) adalah pembahasan tentang
timbangan dan ukuran, yang biasa digunakan dalam menghitung beberapa kewajiban
agama yang berkaitan dengan harta atau benda dalam bab khusus. Dalam bab ini
Abu Ubaid juga menceritakan tentang khilafah Abdul Al Malik Ibn Al Marwan dalam
melakukan standarisasi dari berbagai jenis mata uang yang ada dalam sirkulasi.[40]
Hasil karyannya ada sekitar 20, baik dalam bidang ilmu Nahwu, Qira’ah,
Fiqih, Syair dan lain-lain. Yang terbesar dan terkenal adalah Kitab Al
–Amwal dalam bidang Fiqih. kitab Al –Amwal dari Abu Ubaid merupakan
suatu karya yang lengkap tentang keuangan negara dalam islam.
Buku ini sangat kaya dengan sejarah perekonomian dari paruh pertama Abad ke
2 H. Buku ini juga merupakan rangkuman ( compendium ) tradisi asli (
authentic ) dari Nabi dan Atsar para sahabat dan tabi’in
tentang masalah ekonomi. Sedikitnya ada 4 jenis produk hukum islam yang ada
selama ini, yaitu kitab-kitab Fiqih, keputusan-keputusan pengadilan
agama, peraturan perundangan di negeri-negeri muslim, dan fatwa-fatwa.
Kitab al Amwal merupakan sebuah mahakarya
tentang ekonomi yang dibuat oleh Abu Ubaid yang menekankan beberapa issu
mengenai perpajakan, hukum, serta hukum administrasi dan hukum internasional.
Kitab Al-Amwal secara komprehensif membahas tentang sistem keuangan publik
islam terutama pada bidang administrasi pemerintahan. Kitab ini juga
memuat sejarah ekonomi Islam selama dua abad pertama hijriyah, dan merupakan
sebuah ringkasan tradisi Islam asli dari Nabi, para sahabat dan para
pengikutnya mengenai permasalahan ekonomi. Abu ubaid, dalam Kitab Al-Amwal,
banyak mengutip pandangan dan perlakuan ekonomi dari imam dan ulama terdahulu.
Ia sering mengutip pandangan Malik ibn Anas dan pandangan sebagian besar ulama
madzhab Syafi’i lainnya, dan juga mengutip beberapa ijtihad Abu Hanifah, Abu
Yusuf dan Muhammad ibn al-Hasan asy-Syaibani.[41]
D.
Pemikiran
Ekonomi Tokoh Menurut Pendapat Lain
Dari literatur-literatur yang ada tidak
begitu ditemukan pandangan mengenai pemikiran-pemikiran dari Al Syaibani ini.
Penulis dapatkan sebuah pandangan dari Dr. Janidal, seorang ekonom islam
seperti dikutip Adiwarman Karim dalam buku Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam
bahwa Al Syaibani merupakan seorang perintis ilmu ekonomi dalam Islam. Ia
mendasari pernyataan tersebut berdasarkan Karya Al Kasb yang ditulis oleh Al
Syaibani. Bahasan Al Kasb yang berkaitan dengan perilaku produksi, kerja,
kekayaan dan kefakiran, klasifikasi usaha perekonomian, kebutuhan ekonomi, dan
spesialisasi kerja merupakan kitab pertama dalam dunia Islam yang membahas
masalah tersebut.[42]
Dalam ekonomi konvensional dikenal juga
pencetus spesialisasi kerja yakni Adam Smith. Dalam bukunya Wealth of Nation
iya menyatakan bahwa “Pekerjaan yang dilakukan suatu bangsa adalah modal
yang membiayai keperluan hidup rakyat itu pada asal mulanya, dan dengan hasil-hasil
pekerjaan tersebut dapat dibeli keperluan-keperluan hidupnya di luar negeri. “
Kapasitas Produktif daripada kerja selalu bertambah dikarenakan adanya
pembagian kerja yang mendasar dan rapi.
Keuntungan adanya pembagian kerja
tersebut dianalogikan dengan contoh sebuah pabrik jarum. Di dalam pabrik jarum
tersebut seorang buruh secara pasti dapat membuat 20 jarum sehari. Dari hasil
kunjungan Smith atas suatu pabrik jarum yang telah dilakukan pembagian
pekerjaan, ternyata 10 orang buruh dapat membuat 4.800 buah jarum, dengan
pembagian kerja yaitu ada yang khusus meruncingkan jarumnya, serta lainnya.
Dari keadaan tersebut dapat dikemukakan bahwa pembagian pekerjaan yang
dilaksanakan itu dapat mempertinggi hasil produksi buruh menjadi 4.800 buah
jarum atau meningkatkan sebanyak 240 kali lipat.
Pembagian pekerjaan sering dibedakan
menjadi dua pengertian. Pertama adalah membagi pekerjaan menjadi sederhana
sehingga semua buruh pada tingkat tertentu dapat melakukan pekerjaan. Kedua
adalah pembagian kerja yang bersusun yang membagi pekerjaan sesuai dengan
keahlian khusus yang berdampak kepada pekerjaan yang lebih tersistem dan
membutuhkan spesialisasi khusus. Dengan adanya sistem tersebut, maka akan tercapai
maksimalisasi dalam hal produksi suatu lembaga.
Secara garis besar pada dasarnya antara
sistem spesialisasi pekerjaan yang dicetuskan oleh Al Syaibani dan Adam Smith
punya kesamaan yang sangat mendasar yakni bahwa dengan adanya pekerjaan yang
dilakukan berdasarkan keakhlian maka akan berdampak pada semakin baiknya hasil
dari suatu usaha. Hal ini bisa tergambar jelas dari penelitian sederhana yang
telah dilakukan oleh Adam Smith di atas bahwa dengan adanya spesialisasi
pekerjaan tersebut akan berdampak pada peningkatan kuantitas dan kualitas
sebuah pekerjaan. Selain itu dengan adanya spesialisasi pekerjaan tersebut maka
setiap individu yang ada dalam suatu pekerjaan dapat mengerjakan sesuatu sesuai
dengan aturan tanpa harus mengerjakan apa yang tidak seharusnya ia lakukan.
Sumbangsih pemikiran Al Syaibani dan Adam Smith mengenai spesialisasi pekerjaan
ini telah memberikan efek yang sangat besar hingga saat sekarang terutama bagi
dunia usaha.
Sedangkan jika menilik pada perbedaannya
dalam pandangan penulis adalah bahwa dalam spesialisai yang dikemukan oleh Al
Syaibani terdapat penekanan pada unsur kerja sama dan prinsip saling
membutuhkan antara satu dan lainnya dalam melaksanakan suatu pekerjaan. Disini
terdapat makna besar bahwa apapun posisi yang ditempati seorang pekerja ia
mempunyai fungsi sesuai dengan posisinya tersebut. Dimana tanpa menjalankan hal
tersebut maka hasil dari pekerjaan yang ada tidak akan tercapai secara
maksimal. Ini sangat menunjukkan betapa sistem spesialisasi yang dicetuskan Al
Syaibani sangat menjunjung tinggi nilai kemanusiaan tanpa memandang rendah dan
tingginya jabatan dalam pekerjaan. Sementara dalam spesialiasi yang dicetuskan
adam Smith dalam Wealth of Nation, tidak tergambar akan bagaimana rasa
manusiawi ini. Dalam teori tersebut hanya bertumpu pada maksimalisasi hasil
dari sebuah pekerjaan yang ada.
Kemudian tentu yang paling mendasar,
bahwa suatu pekerjaan yang dilakuakn setiap orang adalah orientasi dalam rangka
mencapai ridha Allah yang merupakan wujud dari ibadah kepadaNya. Bagi Al
Syaibani ini adalah fondasi utama dari setiap pekerja yang ada dalam usaha
produksi Islam. Segala bentuk posisi dan tanggung jawab yang ada dalam
pekerjaan merupakan manifestasi dari upaya peribadatan kepada Allah disamaping
upaya pemenuhan kebutuhan hidup. Dimana dikenal dengan penguasaan dua aspek
sekaligus yakni ekonomi dan religius. Sementara Adam Smith, sangat jauh dari
unsur keagamaan dalam mencetuskan teorinya. Pemikiran Adam Smith hanya bertumpu
pada satu aspek yakni aspek ekonomi, dimana adanya spesialiasi pekerjaan hanya
bertujuan untuk meningkatkan produksi yang berefek pada semakin baiknya
perekonomian.
Disini
mungkin bisa kita jadikan suatu bahan perenungan bahwa ternyata Islamlah yang
pertama kali mencetuskan sistem spesialisasi kerja ini melalui Al Syaibani
bukan Adam Smith seperti yang sering didengung-dengungkan oleh ekonom barat.
Kita harus berbangga dan sekaligus miris akan kenyataan tersebut. Akan tetapi,
kita dapat memberikan sumbangsih nyata berkaitan dengan hal ini. Dimana kita
dapat membuat tulisan-tulisan maupun komentar-komentar berkaitan dengan masalah
spesialisasi kerja yang kita ambil dari sumber-sumber pemikiran Al Syaibani
sehingga kedepan semakin banyak orang terutama umat Islam yang mengenal Al
Syaibani dan tahu bahwa beliaulah pencetus spesialisasai kerja pertama dalam
Islam.
E. Relevansinya pemikiran Abu
Ubaid di Indonesia
Pada dasarnya pemikiran Abu Ubaid tentang zakat adalah
penerapan dan pengelolaan zakat yang diprakteknya pada masa Rasulullah SAW dan para
sahabatnya. Prinsip dari pengelolaan zakat pada masa tersebut adalah adanya
peran pemerintah sebagai pemegang kekuasaan politik dalam pengelolaan zakat,
pembentukan institusi zakat sebagai institusi keuangan publik, dan pola
distribusi zakat.
Secara prinsip
pengelolaan zakat pada masa tersebut dapat diaplikasikan pada masa kini,
khususnya pengelolaan zakat di Indonesia. Beberapa kebijakan pemerintah
mengenai pengelolaan zakat merupakan peran pemerintah dalam hal menjamin
pengelolaan zakat di tanah air. Akan tetapi diperlukan beberapa perbaikan dan
penyelarasan, serta pengawasan dalam praktek zakat di lapangan. Dengan
memperhatikan beberapa hal di atas, diharapkan pola dan system pengelolaan
zakat di Indonesia lebih baik dan dapat memberikan kontribusi dalam pembangunan
ekonomi nasional, khususnya tingkat perekonomian umat muslim yang merupakan
mayoritas penduduk di Indonesia.
Kita tahu
bahwa Indonesia merupakan negara berpenduduk muslim terbesar di dunia. Hal
tersebut merupakan potensi sekaligus masalah buat kita. Dengan jumlah yang
cukup besar, umat muslim di Indonesia dapat memberikan kontribusi yang sangat
besar dalam pembayaran zakat. Namun, dengan posisi Indonesia sebagai negara
berkembang, tentunya sebagai mayoritas, umat muslim Indonesia tidak pernah
luput dari permasalahan-permasalahan yang pada umumnya dialami oleh negara
berkembang, yaitu masalah kemiskinan.
Sebagai
negara demokrasi, pemerintah telah dengan serius memperhatikan
kebutuhan-kebutuhan umat muslim Indonesia dan memfasilitasi beberapa kebijakan
dalam rangka memberikan kemudahan atas pelaksanaan ajaran agama Islam. Di
antara kebijakan tersebut adalah kebijakan tentang zakat yang diwujudkan dalam
bentuk undang-undang. Salah satu kebijakan pemerintah tersebut adalah
Undang-Undang No. 38 Th. 1999 tentang pengelolaan zakat dan Keputusan Menteri
Agama RI No. 581 Th. 1999 tentang pelaksanaan UU No. 38 Th. 1999 tersebut.
Undang-undang tersebut dirancang sebagai upaya perbaikan pengelolaan zakat di
Indonesia.
Dengan
adanya beberapa kebijakan pemerintah dalam hal pengelolaan zakat, tugas dan
tanggung jawab pemerintah tidak otomatis hilang. Pemerintah diharapkan dengan
aktif mengontrol dan memberikan peringatan bagi lembaga-lembaga zakat yang
tidak mengelola zakat dengan baik. Meskipun undang-undang telah dibuat,
permasalahan tentang pengelolaan zakat, khususnya lembaga-lembaga pengelola
zakat masih akan timbul, seperti persaingan antara Lembaga Amil Zakat (LAZ)
yang berbasis lembaga swadaya masyarakat dan lembaga yang dibentuk pemerintah
Badan Amil Zakat (BAZ).
Permasalahan
lain yang adalah system pengelolaan yang kurang professional dan transparan.
Akibatnya kepercayaan masyarakat untuk menyalurkan zakatnya kepada lembaga
zakat berkurang dan akhirnya akan menimbulkan penyaluran zakat secara individual
atau langsung tanpa perantara lembaga zakat. Hal tersebut akan berimplikasi
terhadap distribusi zakat yang tumpang tindih, di mana pembagian zakat kepada
para mustahiq tidak merata dan tepat sasaran. Tidak merata dan
tidak tepat sasaran artinya akan terdapat mustahiq yang tidak
mendapatkan bagian dari zakat, atau bahkan ada mustahiq yang mendapatkan zakat
dari dua sumber yang berbeda pada waktu yang bersamaan.
Berdasarkan
beberapa permasalahan di atas, diperlukan peran pemerintah dalam penertiban lembaga-lembaga
zakat yang ada di Indonesia. Penertiban dapat dilakukan dalam beberapa aspek,
diantaranya adalah aspek manajemen, laporan penghimpunan dan penyaluran,
akuntabilitas laporan, wilayah operasi lembaga dan koordinasi diantara
lembaga-lembaga zakat.
Abu Ubaid
bin Salam bin Miskin bin Zaid al-Azdi adalah salah satu yang telah menyoroti
praktik perdagangan internasional, khususnya impor dan ekspor. Perdagangan
Internasional adalah perdagangan antarnegara yang melintasi batas-batas suatu
negara. Jauh sebelum teori perdagangan internasional ditemukan di Barat. Islam
telah menerapkan konsep-konsep perdagangan internasional. Jika kita amati dari
penjelasan di atas, ada hal yang menarik di sana. Cukai merupakan salah satu
bentuk merugikan orang lain, yang sekarang ini didengungkan oleh penganut
perdagangan bebas(free trade), bahwa tidak boleh ada tarif barrier pada
suatu negara. Barang dagangan harus bebas masuk dan keluar dari suatu negara.
Dengan kata lain, bea masuknya nol persen. Tetapi dalam konsep Islam, tidak ada
sama sekali yang bebas, meskipun barang impor itu adalah barang kaum muslimin.
Untuk barang impor kaum muslimin dikenakan zakat yang besarnya 2.5%. Sedangkan
non muslim, dikenakan cukai 5% untuk ahli dzimmah (kafir yang sudah melakukan
perdamaian dengan Islam) dan 10% untuk kafir harbi (Yahudi dan nasrani). Jadi,
tidak ada prakteknya sejak dari dahulu, bahwa barang suatu negara bebas masuk
ke negara lain begitu saja.
KESIMPULAN
Pemikiran
Al Syaibani lebih menekankan kepada permasalahan ekonomi mikro, sehingga
pemikirannya membahas secara detail bagaimana peranan ekonomi dari cara kerja
manusia untuk mendapatkan harta, sedangkan Abu Ubaid menekankan kepada
permasalahan ekonomi makro, bagaimana suatu negara mengatur tatanan ekonomi
demi kesejahteraan rakyatnya.
Menurut Asy Syaibani,
permasalahan ekonomi wajib diketahui oleh umat islam karena dapat
menunjang ibadah wajib. Pemikiran beliau tentang ekonomi terbagi menjadi
lima bagian, yaitu : Al-Kasb ( Kerja ), Kekayaan dan
Kefakiran, Klasifikasi Usaha-usaha Perekonomian,Kebutuhan-Kebutuhan
Ekonomi, Spesialisasi dan Distribusi Pekerjaan. Sektor
usaha yang harus lebih diutamakan menurut Asy-syaibani adalah sektor
pertanian, karena pertanian merupakan
sektor usaha yang memproduksi berbagai kebutuhan dasar manusia yang sangat
menunjang dalam melaksanakan berbagai kewajibannya.
Pemikiran Abu
Ubaid yang tertuang dalam kitab al amwal yang
membahas secara mendalam tentang hak dan kewajiban negara, pengumpulan
dan penyaluran zakat, khums, kharaj, fai dan berbagai sumber penerimaan negara
lainnya, dimana analisis yang digunakan beliau merujuk pada kaidah
hadits-hadits yang berkaitan dengan pemerintahan.
DAFTAR PUSTAKA
M. Sadeq, Abulhasan dan Aidit Ghazali, Reading in Islamic
Economic Thought, Selangor Darul Ehsan : Longman Malaysia, Cet. ke-1, 1992
Aziz Dahlan ,Abdul dkk (ed.), Ensiklopedi Hukum Islam, Jakarta
: PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, Jilid 5, Cet. ke-1, 1997
A. Karim,
Adiwarman Sejarah Pemikiran Ekonomi
Islam, Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Edisi Ketiga ,2004
Al-Audi , Rifa’at, Min al-Turats : al-Iqtishad li al-Muslimin
Makkah : Rabithah ‘Alam al Islami, Cet. ke-4, 1985
Hammad bin Abdurrahman Al Janidal, Manahij al-Bahitsin fi al
Islami, Riyadh : Syirkah al Ubaikan li al Thaba’ah wa al Nasyr, Jilid 2,
1046 H
Jaya Bakri, Asafri, Konsep Maqashid Syari’ah menurut Al Syatibi,
Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, Cet. ke-1, 1996
Muhammad bin Hasan Al Hasan Al
Syaibani, al Iktisab fi al Rizq al Mustahab, Beirut : Dar al Kutub al
Ilmiyyah, Cet. ke-1, 1986
Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem
Ekonomi Islam, Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012.
Taqiyuddin Al
Nabhani, Membangun Sistem Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam, Surabaya
: Risalah Gusti, Cet. ke-2, 1996
DR. Euis Amalia, M.Ag, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam Dari Masa Klasik Hingga Kontenporer, Jakarta : Gramata
Publishing, 2010
[1] Adiwarman A. Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 2004) Edisi Ketiga,
hal. 254
[2] Dalam perkembangan selanjutnya, Al Syafi’i
belajar fiqih kepada Al Syaibani selama kurang lebih 2 tahun. Lebih jauh, lihat
Rifa’at Al-Audi, Min al-Turats : al-Iqtishad li al-Muslimin (Makkah :
Rabithah ‘Alam al Islami, 1985) Cet. ke-4, hal. 20
[3] Abdul Aziz Dahlan dkk (ed.), Ensiklopedi
Hukum Islam, (Jakarta : PT. Ichtiar Baru Van Hoeve, 1997), Jilid 5, Cet.
ke-1, hal.1686
[6] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2012), 264
[7] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam, (Jakarta: The International Institute Of Islamic Tought
Indonesia,2002), 13
[8] Hammad bin Abdurrahman Al Janidal, Manahij
al-Bahitsin fi al Islami, (Riyadh : Syirkah al Ubaikan li al Thaba’ah wa al
Nasyr, 1046 H), Jilid 2, hal. 111
[10] Lebih jauh mengenai hal ini, lihat M. Fahim
Khan dan Noor Muhammad Ghifari, Shatibi’s Objectives of Shari’ah and Some
Implications for Consumer Behavior, dalam Abulhasan M. Sadeq dan Aidit
Ghazali, Reading in Islamic Economic Thought (Selangor Darul
Ehsan : Longman Malaysia, 1992), Cet. ke-1, hal. 194-196
[11] Asafri Jaya Bakri, Konsep Maqashid
Syari’ah menurut Al Syatibi, (Jakarta : PT. Raja Grafindo Persada, 1996),
Cet. ke-1, hal. 71
[12] Taqiyuddin Al Nabhani, Membangun Sistem
Ekonomi Alternatif : Perspektif Islam (Surabaya : Risalah Gusti, 1996),
Cet. ke-2, hal.1-46
[13] Muhammad bin Hasan Al Hasan Al Syaibani, al
Iktisab fi al Rizq al Mustahab (Beirut : Dar al Kutub al Ilmiyyah, 1986),
Cet. ke-1, hal. 17
[29] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2012), 275
[30] [30]
Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam, ( Jakarta: PT Raja
Grafindo Persada,2012), 277
[31] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Pemikiran
Ekonomi Islam,( Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2012), 278-279
[34] Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 261
[35] Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 260-261
[36] Muhammad Sharif Chaudhry, Sistem Ekonomi
Islam, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2012), 258
[38] Euis Amalia, Sejarah Pemikiran Ekonomi Islam,
(Depok:Gramata Publishing, 2010), 151-153
[40] Adiwarman Azwar Karim, Sejarah Peimikiran
Ekonomi Islam, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada,2012), 270-280
[41] http://ekonomi-islam.com/pemikiran-abu-ubaid-dalam-ekonomi
(dikutip pada tanggal 02 November 2017)
[42] Adiwarman A. Karim, Op. Cit, hal.
256-257
nice article
BalasHapus